Islam masuk di Indonesia pada abad pertengahan. Pada umumnya, golongan yang membawa Islam ke Indonesia bukanlah penguasa, melainkan para pedagang. Mereka datang dari negeri Yaman, terutama dari Yaman Selatan yang di sana ada kota bernama Tarim yang berada di kawasan Hadramaut. Di daerah itu banyak sekali orang alim sekaligus sufi. Sufi dalam hubungannya dengan nurani, dan alim dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan.
Selain orang-orang dari Yaman, para penyebar Islam juga berasal dari India dan Gujarat. Ciri khas dua negara ini adalah adanya persenyawaan antara agama dan budaya yang sangat kental. Mereka masuk ke Indonesia untuk berdagang sekaligus menyebarkan Islam. Akhirnya pada abad pertengahan itu, mulai timbul gerakan Islamisasi di Indonesia. Pada saat itu, Indonesia sudah didominasi oleh agama Hindu dan Budha. Hindu dengan Majapahit-nya dan Budha dengan Sriwijaya-nya. Selanjutnya terjadilah Islamisasi melalui gerakan kultural, bukan melalui sistem pemerintahan maupun melalui peperangan, melainkan melalui persenyawan antara agama dan budaya setempat. Hal ini memungkinkan untuk terjadi, karena yang membawa agama Islam ke Indonesia adalah orang-orang yang agamis sekaligus budayawan. Adapun para pemimpin penyebar Islam ini kemudian disebut dengan Wali Songo. Wali Songo itu adalah pemimpinnya, karena wali itu sebenarnya sangat banyak.
Ketika Islam masuk di Indonesia, Indonesia saat itu sudah penuh dengan budaya, baik budaya lokal Indonesia – misalnya: Jawa, Sumatera, Kalimantan, Indonesia Timur, dsb. – yang sudah sangat kental sebagai adat istiadat, maupun adat istiadat yang sudah bersenyawa dengan Hindu-Budha. Kemudian Islam baru masuk untuk melakukan proses Islamisasi. Oleh karena itu, pendekatan budaya di dalam proses Islamisasi menjadi sangat mungkin terjadi, mengingat faktor pembawanya dan faktor ajarannya. Yaitu para pembawa Islam saat itu merupakan muballigh sekaligus budayawan, sedangkan ajaran Islam yang dibawa ke sini adalah ajaran madzhab Imam Syafi’i RA. Ajaran Imam Syafi’i RA ini terkenal mempunyai toleransi terhadap budaya, sepanjang budaya itu tidak bertabrakan secara diametral dengan pokok-pokok ajaran Nabi Muhammad SAW.
Sikap Islam ala ulama’ Syafi’iyyun di atas tadi mempunyai toleransi terbatas terhadap budaya, karena budaya sendiri terbagi menjadi beberapa kategori:
Budaya yang netral dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Misalnya; Sopan santun. Budaya sopan santun itu bersifat netral, karena Islam tidak mengatur hal itu. Budaya sopan santun ini bisa dimasukkan dalam kelompok “أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ” . Maksudnya; Perkara-perkara seperti itu lebih kalian ketahui, karena merupakan urusan duniamu. Contoh lagi adalah: Orang yang memakai kopyah. Hal-hal seperti ini tidak diatur oleh Islam, karena yang diatur oleh Islam adalah ketentuan menutup aurat.
Budaya yang serasi dengan agama dan dapat dijadikan alat agama. Misalnya; Gotong royong. Pada waktu Islam datang, di Indonesia sudah ada budaya gotong royong. Contoh; Ketika ada orang membuat rumah, maka para tetangga sekitarnya berhenti bekerja sejenak untuk ikut membantu mendirikan rumah tetangganya. Budaya seperti itu sangatlah bagus, karena selaras dengan firman Allah SWT dalam Surat Al-Maaidah :
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan ketaqwaan, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan
Jika suatu budaya itu selaras dengan agama, maka menurut Imam Syafi’i RA, budaya itu bisa diperkuat oleh agama. Inilah yang melandasi lahirnya kaidah العادة المحكمة (Adat istiadat dapat dijadikan pegangan hukum). Contoh lain; Anak menghormati orang tua dengan cara cium tangan sudah ada di Indonesia sebelum Islam datang. Kalau seseorang lewat di depan orang yang lebih tua, dia akan menunduk atau mengucapkan permisi.
Budaya yang salah namun masih bisa diperbaiki. Misalnya; Pada zaman dahulu, orang yang keluarganya meninggal dunia akan melakukan ziarah kubur dan selametan, akan tetapi niatnya tidak ditujukan kepada Allah SWT, melainkan kepada Kakik Danyang, Nyi Roro Kidul, Mak Lampir, dsb. Semua itu dilakukan dalam rangka menghormati para leluhur mereka. Menurut Imam Syafi’i RA, di dalam Islam, menghormati leluhur itu hukumnya sunnah, akan tetapi harus disertai tauhid atau meng-esa-kan Allah SWT, tidak boleh musyrik. Oleh karena itu, kemudian diaturlah bagaimana carannya budaya selametan tetap jalan dan leluhur tetap dido’akan, akan tetapi do’anya ditujukan kepada Allah SWT. Dari sinilah timbul kegiatan tahlil, talqin, membaca Qur’an, membaca shalawat, dsb. Budaya-budaya seperti ini tidak ada di luar Asia Tenggara. Orang yang tinggal di Mesir, di Saudi Arabia, dsb. kalau mereka meninggal dunia, ya sudah nggak ada urusan apa-apa lagi. Jadi, kegiatan tahlil, talqin, dsb. merupakan proses sublimasi atau pengalihan semangat ruh tauhid kepada Allah SWT untuk menggantikan ruh syirik, dengan tanpa merubah bentuk budaya yang sudah ada. Kalau ada orang bertanya, Apa dalil tahlil? Dalilnya adalah: Kita diperintahkan untuk membaca kalimat Laa Ilaaha Illallah, sedangkan di dalam tahlil juga membaca kalimat tersebut. Adapun mengenai sampai-tidaknya pahala kepada si jenazah, maka jika memang nyampai, ya Alhamdulillah; kalau tidak, ya ndak apa-apa, toh sudah membaca Laa Ilaaha Illallah yang sudah pasti mendatangkan pahala. Lain lagi yang dipersoalkan adalah kenapa pahala tahlil itu kok ditransfer? sedangkan muatan dzikir di dalam tahlil sama sekali tidak dipersoalkan oleh orang-orang di luar madzhab Syafi’i RA. Contoh lain: Adat istiadat ketika panen padi. Pada masa dahulu, orang yang panen padi akan membawa tumpeng dan diletakkan di pematang sawah, kemudian tumpeng itu dibiarkan sebagai persembahan kepada Dewi Sri. Budaya seperti itu dicegah oleh Islam, namun masyarakat dahulu tetap diperkenankan untuk membawa tumpeng, hanya saja tumpeng itu diperuntukkan bagi orang yang mencangkul dalam status sebagai shadaqah. Setelah itu, bersama-sama memohon kepada Allah SWT. Demikian ini adalah contoh-contoh budaya yang salah, namun masih bisa diperbaiki. Nah, yang seperti inilah oleh orang yang bukan Syafi’iyyun, dianggap sebagai bid’ah, padahal pada awal Islam di Indonesia, hal itu justru dianggap sebagai alat dakwah. Demikian juga dengan tradisi Maulid Nabi Muhamamad SAW. Anehnya, Maulid Nabi SAW dianggap “bid’ah dhalalah” di Saudi Arabia, namun dalam memperingati rajanya, justru tidak dianggap bid’ah. Padahal muatan acara itu sama saja dengan Maulid Nabi SAW.
Budaya yang harus dipotong (dihilangkan), karena merupakan budaya yang khurafat, mungkaraat, atau maksiat, dan sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Contoh; Di wilayah Lombok sebelah timur terdapat suku Sasak. Di dalam suku itu ada budaya kalau seorang pemuda akan menikah, maka sebagai tanda bahwa pemuda itu cinta kepada calon istrinya, dia harus menculik dan membawa lari calon istrinya itu. Beberapa hari kemudian, ketika si wanita sudah luset, baru mereka berdua bersama-sama menghadap kepada calon mertua mereka. Adat istiadat seperti ini jelas tidak boleh dan tidak bisa diperbaiki lagi, karena budaya ini sama dengan perzinaan. Oleh karena itu, budaya seperti ini harus dipotong/dibuang.
Di dalam proses Islamisi secara kultural ini akhirnya mengakibatkan dua hal besar, yaitu:
Masyarakat Indonesia berbondong-bondong masuk agama Islam dengan kesadaran, tanpa paksaan, dan tanpa perang, namun melalui akulturasi budaya. Jadi, tidak ada perang agama di Indonesia.
Kalau gerakan dakwah kultural tadi sudah tuntas, berarti orang sudah dipindahkan dari budaya kafir menuju pada budaya Islam, atau dari budaya syirik kepada budaya tauhid. Ini kalau dakwah kultural tersebut benar-benar sudah khatam. Akan tetapi ada juga orang-orang yang pembinaannya masih belum khatam, namun sudah ditinggal wafat oleh generasi Wali Songo. Akhirnya mereka hanya mendapatkan separo ilmu. Mereka mengerti Laa Ilaaha Illallah, namun tidak mengerti shalat. Misalnya, orang-orang kebatinan yang belum selesai di-Islam-kan secara tuntas. Kelompok ini kemudian menjadi kelompok abangan. Kelompok abangan ini bukan berarti tidak percaya kepada Allah SWT, hanya saja proses Islamisasi pada mereka masih belum tuntas pembinaannya.
Pada saat jumlah penduduk Indonesia masih sebanyak 45 juta, sekitar 90 % masyarakat di Indonesia masuk Islam melalui proses akulturasi di atas. Selanjutnya datanglah gelombang pembaharuan Islam di Indonesia yang dimotori oleh orang-orang dari Saudi Arabia dan sebagian ulama’-ulama’ Mesir. Mereka masuk ke Indonesia ketika masyarakat Islam Indonesia terdiri dari kaum santri dan kaum abangan. Gelombang kedua yang membawa bendera pembaharuan Islam ini masuk ke Indonesia, akan tetapi mereka tidak bisa mengerti dan memahami adanya proses akulturasi Islam dengan budaya setempat. Dalam pikiran mereka: “Islam di sini kok macem-macem, ada tahlillan, muludan, ini, itu, dsb. Sementara di negara saya tidak ada tradisi seperti ini?”. Dari sinilah tumbuh gerakan pemurniaan (purifikasi) Islam yang dipelopori oleh Muhammadiyah. Sedangkan kelompok yang mewarisi proses Islamisasi melalui akulturasi tadi mengelompok dalam wadah bernama NU (Nahdlatul Ulama’).
Posisi Muhammadiyah terhadap NU maupun terhadap umat Islam adalah melakukan pemurniaan Islam dan modernisasi Islam, karena masyarakat Islam pada saat itu masih sangat tradisional. Misalnya; Santri-santri banyak yang tidak pernah memakai celana, tidak pakai ikat pinggang, kamar mandi di pondok-pondok Pesantren banyak lumutnya, dsb. Sedemikian tradisionalnya umat Islam saat itu, akhirnya ada antisipasi berupa modernisasi. Jadi, para pembaharu Islam ini mengusung tema purifikasi (tashfiyah) dan modernisasi. Bagi Muhammadiyah, kurikulum di Pesantren-pesantren hanyalah menghabiskan waktu semata. Misalnya; Kurikulum fiqih. Pada tingkat dasar mempelajari Sullam Taufiq; tingkat lanjut mempelajari Fathul Qarib; tingkat menengah mempelajari kitab Fathul Mu’in; dan tingkat atas mempelajari kitab Fathul Wahab. Padahal semua kitab-kitab itu, bab-babnya sama, cuma keterangannya saja yang berbeda. Menurut Muhammadiyah, kurikulum seperti ini dianggap sebagai metodologi pembelajaran yang stagnan dan tidak memproses pemikiran ke depan. Oleh karena itu perlu ada modernisasi.
Selain mengusung tema purifikasi dan modernisasi, gelombang pembaharu Islam di atas juga mengusung tema persatuan Islam dengan merujuk langsung kepada Rasulullah SAW. Menurut mereka; “Kenapa orang-orang NU memakai pendapat Imam Syafi’i, kok tidak memakai pendapat Al-Qur’an?”. Oleh karena itu, slogan yang mereka usung adalah “Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits”. Slogan ini sekilas sepertinya benar, akan tapi sebenarnya tidak benar. Memang kita harus kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, akan tetapi bagaimana cara kembalinya? Al-Qur’an itu ibarat UUD yang masih bersifat mujmal (global), sehingga Al-Qur’an itu harus dirinci lagi melalui metode Tafsirul Qur’an bil Qur’an (Menafsiri suatu Ayat Al-Qur’an dengan Ayat Al-Qur’an yang lain), atau melalui metode Tafsirul Qur’an bil Hadits (Menafsiri Al-Qur’an dengan Hadits yang berfungsi sebagai penjelas). Selanjutnya hasil tafsiran di atas masih harus dirinci lahi oleh pemikiran para ulama’ yang dikondisikan oleh ruang dan waktu, dari sinilah kemudian lahir hukum positif Islam. Sama seperti UUD di Indonesia. Kalau ada orang tertangkap karena mencuri sepeda motor, maka dasar hukum untuk menangkapnya bukan mengacu pada UUD 45, melainkan mengacu pada ketentuan KUHP yang merupakan rincian UUD 45 yang jenjangnya sudah nomor kesekian. Ini bagaimana, orang disuruh kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi tidak diberi tahu bagaimana cara kembalinya?
Karena kelompok pembaharu Islam ini menggunakan metode kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, maka mereka tidak mau kembali kepada madzhab, karena madzhab dianggap sektarianitas atau melakukan pengkotak-kotakan umat Islam. Secara teoritis, kalau semua kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, tentu akan bertemu pada satu titik. Akan tetapi karena banyak yang tidak mengetahui cara kembalinya, akhirnya sejumlah orang yang mengaku kembali ke Al-Qur’an dan Hadits, sejumlah itu pula madzhab yang muncul.
Akhirnya apa yang terjadi? Yang terjadi adalah konflik antara NU dan Muhammadiyah dalam wacana ijtihad, taqlid, bermadzhab, dsb. Semenjak saya kecil, pertengkaran antara NU dan Muhammadiyah ini begitu tajam, namun sekarang ini sudah tidak tajam lagi, karena orang yang mengaku kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits itu ternyata tidak bisa balik lagi – istilahnya; Iso budal, nggak iso mulih – karena mereka tidak mempunyai modal yang cukup untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits. Memang slogan ini ketika berupa wacana, tampak logis sekali, akan tetapi ketika harus difaktakan, banyak yang tidak bisa melakukannya. Misalnya saja ada seruan: “Wahai orang-orang Islam, mari kita kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits.” Tentu tidak mungkin bisa, karena membaca Al-Qur’an saja masih belum begitu lancar. Karena tidak mungkin melaksanakan slogan tadi, akhirnya banyak yang putus asa dan masing-masing orang mengikuti gurunya sendiri-sendiri. Padahal tindakan mengikuti gurunya sendiri-sendiri itu sama saja dengan bermadzhab.
Akhirnya pertikaian antara NU dan Muhammadiyah mulai mereda. Mereka tetap bersatu sekalipun ada perbedaan di antara keduanya, karena sama-sama mengerti akan perbedaan pendapat kedua golongan tersebut. Sekarang ini, konflik antara NU dengan Muhammadiyah menurun jauh dibandingkan dengan kondisi dulu. Mereka dulu berkelahi dan masing-masing merasa paling berhak masuk surga. Baik warga NU maupun Muhamamdiyah sudah berdebat, sekalipun tidak ada ilmunya, bahkan di pasar-pasar sekalipun. Sekarang ini semuanya sudah lumer, dan yang tersisa di dalam konflik antara NU dan Muhammadiyah ini adalah fanatisme golongan, bukan lagi tentang wacana keagamaan. Artinya; konflik sudah bergeser dari wacana aqidah dan syari’ah, menjadi wacana interest dan opportunity. Persaingan antara NU dan Muhammadiyah ini menurun drastis, setelah ada regenerasi, yaitu semenjak tahun 80′-an. Persaingan yang tertinggal sekarang adalah persaingan nama, simbol-simbol, dsb.
Sekarang ini, NU mulai mengejar ketertinggalan dalam hal manajemen, kebersihan, metode, dll., sedangkan Muhammadiyah yang merasa kering karena ndak ada dzikirnya, ia juga mulai mengimpor dzikir. Akhirnya terjadilah crossline dan saling membutuhkan. Ibaratnya; Yang NU tidak bisa kamar mandinya berlumut terus, sedangkan yang Muhammadiyah juga tidak bisa pakai celana terus. Makin lama, golongan Muhammadiyah ini ingin hatinya terisi, karena sebelumnya mereka itu tergolong rasionalistik, bukan sufistik. Sedangkan kalangan NU kebanyakan sufistik, sehingga terkadang tidak bisa dibedakan antara orang sufi dengan orang kebatinan.
15 Responses to “SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA SAMPAI LAHIRNYA NU DAN MUHAMMADIYAH”
Sorry, the comment form is closed at this time.
sangat perlu kita memahami sejarah perkembangan masuknya islam di indonesia untuk dijadikan khasanah ilmu pengatahuan kita semua.
sepakat. terimakasih atas kunjungan anda.
sejarahnya ternyata seperti itu to…………….
kira2 begitu.. 🙂
Tapi kenapa yah,aku kok lebih nyaman mengikuti ajaran Muhammadiyah daripada NU.Padahal aku dilahirkan di lingkungan keluarga NU.Menurutku NU cenderung Liberal,banyak pengikutnya yang jauh dari Sunnah Rosul.Cth : NU banyak yg merokok padahal itu jelas2 merugikan kesehatan.Kalo menurutku sesuatu yg mengandung Mudharat seharusnya dijauhi tp kenapa byk ustadz/kyai NU yang pada merokok.Yang kedua memelihara jenggot adalah sunnah Rosul tp kenapa banyak Orang NU yg setara Ustadz/Kyai yang tidak mau berjenggot.Sedangkan kebanyakan orang Muhammadiyah punya jenggot.
tidak setiap NU demikian, begitu juga, tidak semua Muhammadiyah demikian. itu hanya alat, islam jalannya, dan Allah tujuannya. 😀
salam,
Admin
muantaaafffff..berkah ilmumu Gus….
kesalahan terdapat pada oknumx(pelakux) bukan organisasix!
Penggabungan kedua organisasi tersebut akan menghasilkan faham ahlu sunnah wal jamaah.
Tinggal tiap ummatx berjiwa besar apa tidak?
sukron akhi… ^_^
yups…
😀
Ijin copas Akhi & Share juga
diijinkan, hati hati dijalan… 🙂
saya orang yg netral, tpi kyknya klo saya liat seorang pemimpin dari kalangan muhamadyah harus orang yg hebat, bru bisa jdi pemimpin, tpi klo di nu harus keturunannya, walaupun belum tentu dia bisa menjadi seorang pemimpin, apa benar?
oh, g juga mas… setau saya, pemimpin mereka sama2 hebat… 😀
klu saya dri kcil blajar agama mnrut NU,, tp kulyah blajar muhammadiyah,, klau mnrut pndangan saya, bkan kah, yg pling baik adl ahlusunah waljamaah, nah stahu saja, ahlusunah waljamaah it, pnggabungan 2 fham yaitu NU & muhammadiyah, bkan hnya slah 1, tp ke_2 2 nya. Trims
trimaksih ats penjelasnya ijin copas njih