Sebelum menginjak pada siapa seorang muslim dan apa itu kebahagiaan, maka berpikir tentang pemikiran adalah jalan awalnya. Apa itu pemikiran dan bagaimana macamnya hal itu disebut. Malik bin Nabi, seorang Aljazair dalam tulisannya, musykilat al-Afkar fi al-`Alam al-Islami memberikan definisi yang bagus tentang apa itu pemikiran dan bagaimana macamnya. Dia membagi pemikiran dengan tiga tahap perkembangan. Tahap pertama; tahap benda-benda/ tahap materialism, tahap kedua; tahap dunia pribadi/ tahap eksistensialism, tahap ketiga; tahap pemikiran menyeluruh/ tahap yang bersifat ilahiyun.
Anda bertanya kenapa kita harus berpikir dulu, dan saya menjawab bahwa berpikir itu sangat diperlukan untuk proses menemukan. Ketika Anda masih tetap mendesak saya, maka saya akan menjawabnya dari sebuah ayat al-Qur`an –semoga hal ini menenangkan Anda-, Katakanlah, “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi?” (QS. Yunus: 101). Hal ini penting bagi Anda, karena memperhatikan; hingga akhirnya, menghayati, mendalami, sampai juga memikirkan, adalah perintah Tuhan Anda kepada Anda. Saya tak perlu jauh-jauh sebenarnya, ketika Anda membaca tulisan ini, yaitu sebuah usaha sederhana dari berpikir, maka hal itu sudah disebutkan dalam al-Qur`an untuk Anda kerjakan, Bacalah! (QS. Al-`Alaq: 1).
Saya mohon, biarlah saya kembali mengulas apa itu tahap-tahap pemikiran, dan kenapa hal itu dibutuhkan di sini. Kebahagiaan adalah simbiosa –bagi saya- antara dua hal, psike-jiwa dan ratio-akal manusia, yang ditopang atas materi-jasad mereka. Bila Anda masih belum merasa lega, maka ada baiknya Anda perhatikan bagaimana setidaknya disebut lima kali posisi akal dalam al-Qur`an, dan juga beberapa kali penyebutan untuk menunjuknya sebagai proses berpikir. Al-Qur`an mendedikasikan dirinya untuk akal dengan adanya pelarangan minum khamr; segala hal yang memabukkan, karena dalam khamr tersebut posisi akal dipertaruhkan: seseorang tak mampu lagi membedakan mana baik mana buruk darinya.
Mampukah akal menjadi sebuah instrument pengetahuan? Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apapun, Dan dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur. (QS. An-Nahl: 78). Memperjelas sekalian bahwa melalui ayat ini kita tahu bahwa dalam mendapatkan pengetahuan Allah telah membekali kita indra sekaligus hati (fu`ad, baca juga: akal). Menolak anggapan Plato yang mendasarkan bahwa pengetahuan hanya pada wilayah ide, akal an sich, sekaligus menolak anggapan kamu eksperimentalis yang mengandaikan bahwa pengetahuan hanyalah berasal dari sesuatu yang bersifat inderawi belaka. (Ada baiknya Anda membaca Falsafatuna, Our Philosophy; Allamah Muhammad Baqir Ash-Shadr, Seyyed Hussein Nashr menyebutnya sebagai: …amat jarang perhatian diberikan kepada respon intelektual yang muncul dari tempat-tempat tertentu terhadap tantangan-tantangan modernism, dan yang memberikan jawaban Islami bukan dengan semata-mata memekikkan slogan-slogan tetapi dengan menggali kekayaan tradisi intelektual Islam dan menggunakan logika dan nalar seperti diperintahkan Al-Qur`an. Buku ini termasuk dalam kategori terakhir ini.)
Kebahagian jelas bukan hanya bagian dari sisi psike-jiwa seseorang saja. Kebahagiaan adalah aspek menyeluruh yang mampu dipikirkan, hal itu yang pertama kali harus kita ketahui. Bila Anda tak berbahagia, dan kemudian menyandarkan kebahagiaan Anda kepada agama tanpa Anda ketahui apa yang sedang Anda lakukan selain hanya memang mencari kebahagiaan darinya, maka Anda adalah seorang yang sedang berlari dari kenyataan. Tentu hal ini sah-sah saja, namun permasalahan agama tidak hanya perihal apakah Anda harus bahagian ataukah tidak, maksud saya tidak hanya bersifat psikologis an sich seperti itu. Ada aspek menyeluruh tentangnya, yang pos-posnya pun harus dipenuhi secara menyeluruh, akhirnya itulah kebahagiaan total, bukan pseudo-kebahagiaan seperti yang saya sebutkan sebelumnya. Bila hanya ingin berbahagia secara parsial seperti itu, maka tidak beragama pun seseorang bisa menjalaninya; dan saya teringat seorang teman yang pernah mengatakan kepada saya, “saya selalu bisa menciptakan sendiri kebutuhan bagi jiwa ketika bersedih”, ungkapnya, “dan semua peran-peran lain yang dimiliki agama saya bisa ciptakan sendiri”. Apakah saya meragukan hal ini, jelas sama sekali tidak. Bagi saya teman tadi adalah seorang yang jujur, hingga di titik dia menyebut tidak mempercayai Tuhan atas masa pencariannya tersebut.
Maka akan saya jelaskan tentang kebahagiaan tahap pertama; tahap benda-benda/ tahap materialism dan pemikiran yang melandasinya. Pemikiran materialism bermula saat seseorang menganggap bahwa pengetahuan hanya bisa terjadi melalui sesuatu yang tercerap, sesuatu yang inderawi; dan hal ini jauh sebelum ini kita tolak karena pengetahuan tidak sekerdil itu. Hingga karenanya, maka madzhab ini mengandaikan bahwa kebahagiaan hanya mampu diperoleh dengan hal-hal yang bersifat materi. Anda berbahagia karena Anda telah selesai makan enak hari ini, Anda telah mengenyangkan perut Anda pada satu titik, dan makanan enak terkecap di indra perasa Anda; Anda sudah merasa bahagia karenanya. Ini seperti terjadi pada masa balita kita yang bagaimana kesenangan kita hanya karena terpenuhinya semua hal yang bersifat materi pada diri kita. Kita haus, kita akan menangis. Lapar menangis. Apa-apa kita menangis sebelum, the other, bisa ibu kita memberikan apa yang kita mau, berupa materi yang kita butuhkan. Penganut madzhab ini tak akan puas sebelum apa yang bisa dia miliki, belum dapat dia miliki. Namun apakah akhirnya ketika semua pemenuhan materi ini dapat mereka temukan, maka mereka menemukan kata selesai dari sebuah kebahagiaan??? Maka pengalaman lain menolak anggapan tersebut, di Negara-negara maju pemuja bendawi, sesuatu yang terlihat adalah bunuh diri yang meningkat. Kenapa mereka bunuh diri dan apa sebabnya, menjadi bidang kajian yang terus saja menuntut perhatian para ahli. Kenapa cukupnya kebutuhan indrawi mereka masih memberikan banyak pertanyaan yang patut disampaikan, apakah benar mereka bahagia?
Tahap kedua; tahap dunia pribadi/ tahap eksistensialism, dan pemikiran yang melandasinya. Lebih jauh dari materialism, maka eksistensialisme mempunyai usaha untuk memberikan makna lebih dari sekedar materi. Armahedi Azhar menyebutnya sebagai kemampuan memilih pilihan moral dan estetik atau kebebasan manusia sebagai puncak kebahagiaan. Seseorang esksistensialist menyebut dirinya sebagai, apapun itu aku tak menemukan sesuatu yang selain aku, saat ia dihadapkan dengan agama. Aku telah menjadi pusat atas segala sesuatu, terserah-serah diriku. Sartre menyebutnya otentitas dirimu; otentic. Saya tak berani men-judge siapapun dalam hal ini. Ada pengalaman yang mengkhawatirkan ketika saya pernah salah menulis tentang mereka (saya pernah menulis tentang mereka dengan gagasan; memang tiada tuhan; gaya Sarter vis a vis Camus). Namun dalam madzhab ini, subyektifitas menjadi masalahnya. Rentan subyektif, demikian hemat saya. Padahal kebenaran adalah obyektif, dengan adanya dirinya, bukan subyektif, bukan apa yang gue bilang, bukan apa juga yang loe bilang; kebenaran adalah kebenaran dengan apa adanya dirinya, dan ini ada. Inilah yang banyak terjadi, dan menjadi trendsetter pemikiran saat-saat ini. Chaos tersendiri terjadi karenanya, hukum tidak melahirkan keadilan adalah salah satu derivasinya. Tidak terjadi dengan adanya dirinya adalah kekeringan lain dalam madzhab pemikiran ini. Seseorang bisa saja bahagia dengan madzhabnya ini, namun entahlah juga bila yang ia pikirkan tentang kebahagiaannya adalah kebahagiaan yang subyektif bagi dirinya. Lihat kembali dengan apa yang saya sampaikan tentang teman saya di atas; saya selalu bisa menciptakan sendiri kebutuhan bagi jiwa ketika bersedih. Bagi saya kata-kata itu terkesan sangat dingin dan mencekam, kerinduan yang sangat lama kepada kebahagiaan memaksanya berucap, ketika bersedih. Ia membuat pengakuan dirinya dengan apa yang dia ucapkan; ketika bersedih, alam bawah sadarnya mengatakannya dengan jelas tentang hal itu. Sangat berbeda bila ia berkata, saya mampu membuat definisi kebahagiaan versi saya, dan kalimat ini jelas menunjukkan sikap yang lebih berkesan positif dari dalam dirinya, jauh berbalik dengan apa yang sempat ia –teman saya- ungkapkan terhadap keadaan dirinya sendiri.
Tahap ketiga; tahap pemikiran menyeluruh/ tahap yang bersifat ilahiyun, dan pemikian yang melandasinya. Saya menginjakkan ke tahap ketiga untuk mencoba tidak terlalu lama di tahap-tahap sebelumnya, yang pembahasannya tak sebegitu urgent sepertihalnya ketidakpembahasannya, namun sebagai usaha pembanding, hal tersebut tetaplah perlu. Maaf, ada yang protes tentang hal ini dan mengatakan, kenapa sesuatu yang bersifat keyakinan musti berangkat dari sebuah pemikiran? Tuhan –terserah Anda akan menyeburnya sebagai terserah Anda; saya selalu menyebutnya Allah jalla wa a`la, dengan logat arab saya, a dibaca a’, Anda tahu benar tentang hal ini- dan keyakinan adalah masalah keyakinan, bukan pemikiran. Ini memang sesuatu yang sensitive dan berbuntut panjang, namun kukatakan kepada Anda, bila Anda menyebutnya sebagai keyakinan, maka apa dasar Anda untuk meyakininya. Bukalah kamus bahasa Anda, dan temukan apa itu arti ‘yakin’? Yakin jelaslah merupakan proses sebuah pemahaman, proses pengetahuan, tanpanya tidak akan mungkin Anda meyakininya, dan bila itu terjadi pada Anda, maka akan saya katakan, sepertihalnya yang pernah Syahid Murtadha katakana; keyakinan tanpa pemahaman bukanlah keyakinan. Jelas sudah, dan bagaimana Anda yakin bila Anda tidak tahu. Bila Anda masih saja keukeuh, saya tahu bahwa Anda –yang pertama- sedang membohongi diri Anda sendiri, dan –yang kedua- membohongi banyak pihak akan hal itu; karena Anda tidak mengetahui apa-apa.
Tuhan tak perlu didefinisikan!? Anda sedang marah dengan hal itu, terus bila Tuhan tak perlu didefinisikan, kenapa Anda menyebutnya sebagai Tuhan. Kenapa Anda bisa menyebutkannya sebagai Tuhan, saya bertanya. Anda diam, Anda menganggap hal ini sebagai wilayah keyakinan, wilayah private seseorang. Tidak, saya jawab demikian. Acuan tertinggi saya pun mendefinisikan tentang Tuhan dengan adanya dirinya sendiri, Katakanlah, Dialah Allah yang Mahaesa. Allah tempat meminta segala sesuatu. Tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia. (QS. Al-Ikhlas: 112). Jadi kita pun perlu mendefinisakannya, acuan yang kita dapatkan membantu kita untuk memikirkannya, tidak lain tidak bukan.
Pemikiran ilahiyun menyandarkan dirinya apada adagium yang tak asing, sesungguhnya kepada Allah dan kepada-Nyalah kita kembali. Disposesi inilah tawarannya –back to Falsafatuna, menjadi tawaran salah satunya tentang pemikiran ini yang lebih mendalam-. Saya ingin meneruskannya tentang kebahagiaan apa yang ditawarkan oleh mereka yang bermadzhab ini. Satu-satunya tawaran logisnya adalah memasrah, dan inilah yang tadinya kita bicarakan sejak awal, seorang muslim dan kebahagiaan. Takaran kebahagiaan adalah takaran menyerahkan sepenuhnya. Apakah mungkin hal itu terjadi? Bagaimana mungkin seorang yang menyerahkan semua apa yang ia miliki akan menjadi seorang yang berbahagia? Jawabannya adalah tergantung kepada siapa yang Anda pasrahi, bila Anda memasrahkan diri Anda pada semangat bendawi, maka Anda hanya akan diperbudak olehnya (semangat materiaslim). Atau bila Anda memasrahkan diri Anda kepada diri Anda sendiri, yang bersifat semau Anda, maka Anda akan diperbudak oleh kebebasan Anda, dibelenggu oleh kemerdekaan Anda sendiri. Kahlil Gibran dengan sangat bagus mendefinisikannya dengan, akhirnya engkau membebaskan dirimu kepada belenggu kemerdekaanmu sendiri; kebebasan yang memasungmu (semangat eksistensialism).
Anda hanya bisa memasrahkan diri pada yang patut. Inna rabby `ala shirathil mustaqim, demikan kaum ilahiyun mengajarkan saya berdoa, sesungguhnya Tuhanku berada pada jalan yang lurus; bersikap Mahaadil sebagai salahsatu sikapnya, dan pula, ihdinasshirathal mustaqim (QS. Al-Fatihah: 6), tunjukilah kami jalan yang lurus.
Seorang muslim mampu berbahagia dengan hidup dan semangatnya, saya mempercayai hal itu. Apakah ini sikap subyektifitas saya, maka saya menyebutnya bukan. Ini adalah analisa obyektif saya melihat perihal mereka yang begitu dalam memasrahkan dirinya. Ahlul Kisa` (Anda bisa membacanya dari al-Qur`an tentang siapa mereka, ayat-ayat al-Qur`an menyokong mereka, hingga hadist-hadist juga banyak yang menyokong mereka), saya rasa yang paling tepat menjadi figurative tepat dalam masalah ini. Akan saya tunjukkan kepada Anda, siapa saja Ahlul Kisa` yang saya sebutkan di atas, mereka adalah, Nabiyullah Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wassalam, sayyidah Fathimah az-Zahra, Imam Ali karamallahu wajhahu, Imam Hasan al-Mujtaba, dan Imam Husain as-Syahid. (Silakan Anda periksa kembali opini para ahli kepada mereka, dari sudut pandang pemikiran manapun, dengan syarat kajian yang obyektif tentang mereka).
Ouh, akhirnya Anda menanyakannnya kepada saya, apakah saya sudah mampu berbahagia? Iya, saya akan menjawabnya, saya selalu belajar untuk berbahagia dengan dua hal; kerja keras dan cinta. Kerja keras adalah ulasan yang harus saya kerjakan, saya temukan atas dasar bahwa saya musti berpasrah pada konvensi Tuhan dan berikut dengan semua instrument-Nya –ini hanya sebutan dari penyederhanaan saya-; Tauhid, `Adalah, Nubuwwah, Imamah, Ma`ad, dan kemudian cinta sebagai bentuk ridha-Nya, cinta tertinggi yang saya terus mencoba untuk gapai adanya (tak perlu saya jelaskan derivasi cinta di sini yang begitu luas dan suci).
Dalam alam aksiologi semua terpecah, saya dan kamu sudah berbeda, saya lelaki, dia perempuan, dan banyak hal; maka semuanya menimbulkan banyak friksi, percikan masalah adalah bunga-bunga alam aksiologi, tak perlu disesali adanya. Tanpa adanya bunga, maka tak akan ada keharuman kita temukan. Kiamat pun tak lebih sebuah lukisan indah yang sedang diselesaikan dalam alam ini. Acuan terakhir untuk menghadapi ini semua adalah, back to mindset Ilahiyun, memasrah. Be a good muslim. Memasrahkan semuanya dengan kesabaran dan penerimaan. Anda belum akan berpendapat sama dengan saya, dan itu sebuah pemikiran bagus, dalam mindset kami maka pemikiran adalah hal yang dengan adanya dirinya tak boleh dibelenggu oleh dan atas dasar apapun, hanya Tuhan sendiri yang boleh mengatakan hal itu atas apa adanya ia: pemikiran. Yang paling penting Anda tak boleh bohong, Anda tak boleh melakukan kecurangan terhadap apa yang sedang Anda pikirkan sekarang, dua hal itu Anda lakukan, jelaslah sekarang Anda adalah orang yang tak menemu bahagia. Anda belum seorang yang memasrahkan diri, sekaligus yang menemukan kebahagiaan, innalillahi wa inna ilaihi raji`un terhadap apa yang Anda alami sekarang.
by Muhammad Husain Aziz
Sorry, the comment form is closed at this time.