Dec 022009
 

Ini adalah sebuah dongeng tentang seseorang yang sedang berproses dalam pencarian kebenaran. Ia adalah seorang muslim yang sedang semangat untuk mencari ilmu agama. Ia bukan dari pesantren atau sekolah islam. Ia berasal dari sekolah negeri umum. Pada masa SMA, ia cukup aktiv di organisasi keislaman selama kurang lebih 1,5 tahun. Kemudian, ketika ia pikir-pikir lagi, ia memutuskan untuk keluar dari organisasi tersebut. Dia keluar bukan karena gerakan organisasi yang menyimpang dari agama. Bukan pula karena rasa malas, juga bukan karena bosan. Entahlah, ketika ditanya ia hanya menjawab ia memang ingin keluar saja. Jadi ia keluar tanpa alasan, hanya karena menuruti suara hati…

Dua Tahun telah berlalu.. ia kini berada di sebuah universitas negeri. Begitu masuk kuliyah, tawaran untuk bergabung ke berbagai gerakan keislaman terus berdengung di telinganya. Sebenarnya ia ingin untuk bergabung, sebagai sarana untuk menyampaikan ilmu sekaligus memperbanyak saudara. Namun, perasaan mengganjal yang pernah ada di hatinya 2 tahun lalu kini kembali muncul. Ia kemudian mengurungkan niatnya…

Ia terus mencari penyebab ganjalan dalam hatinya itu. Karena ia melihat saudaranya yang lain yang ia pikir ilmunya lebih tinggi dari pada dia, mereka menjadi seorang aktivis dakwah yang sangat bersemangat. Ia terus bertanya, “saya salah apa ngga sih???”. Sejak awal, Ia berusaha mengaitkan konsep gerakan dakwah dengan konsep jama’ah yang ia pahami. Memang, hasil yang didapat bisa dijadikan hujah untuk membenarkan apa yang sekarang menjadi jalan hidupnya… Namun, hujah yang ia gunakan tidak bertahan lama. Karena adanya bantahan yang bisa melemahkan hujah itu, dan anehnya bantahan ini tidak berasal dari orang lain, namun berasal dari dalam dirinya sendiri. Ia berfikir, “apakah sebuah gerakan dakwah yang relatif kecil ini bisa disamakan dengan sebuah jama’ah yang memiliki ruang lingkup yang sangat luas?” dan jawaban pun juga muncul dari dalam hatinya “Tidak!!, konsep ini berbeda dengan konsep jama’ah… ini tidak mengatur zakat, penentuan hari raya, hukum, dan berbagai aspek yang berada dalam jama’ah tidak termasuk dalam tujuan gerakan. Jadi tidak bisa disamakan…” “trus kenapa aku ragu untuk masuk dan ikut aktiv?” “menyendiri???, Ghuroba??” “bukan, bukan… itu juga bukan sebuah alasan yang bisa dibenarkan… ingat bahwa srigala akan memangsa domba yang sendiri…” “trus kenapa??” “udahlah jangan terlalu dianggap pusing, ingat agama itu mudah asal jangan disepelekan. Jalani saja begini untuk sementara waktu… sambil terus mencari kebenaran.”

Ia menjalani hidup dengan berlepas diri dari semua gerakan… sampai pada suatu hari ia bisa menarik sebuah kesimpulan yang mungkin selama ini telah menjadi ganjalan di dalam hatinya sebagai penghalang bagi dia untuk bergabung ke dalam sebuah gerakan islam… “o… mungkin ini yang membuatku enggan untuk masuk ke dalam organisasi…”. Beberapa alasan ini ia dapat dari investigasi di lapangan (???):

1. Ketika menjadi seorang aktivis dakwah, ia akan cenderung menjadi “pengisi” dari pada “diisi” ini akan berakibat : berkata, berbuat, tanpa banyak ilmu… dan ini ia dapati di lapangan..

2. Organisasi gerakan sekarang ini cenderung ke arah kekelompokan. Yang sering menyebabkan orang lebih menghormati bendera kelompok daripada bendera islam.

3. Ketika masuk kesebuah kelompok akan cenderung timbul sekat-sekat yang di buat oleh masing-masing individu terhadap kelompok lain.

4. Alasan nomer 2&3 menyebabkan perselisihan di hati, bahkan perpecahan antar sesama muslimin.

5. Walaupun gerakan dakwah islam, namun sayangnya mereka sudah tidak terlalu memperhatikan “hijab”,  antara wanita dan laki-laki bisa saling berinteraksi untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Hati adalah organ yang lemah, ia bisa berubah setiap saat. Walau awalnya ikhlash, namun tidak sulit untuk berubah niat menjadi riya’.

6. Dalam organisai, walaupun  itu organisasi islam tidak terlepas dari demokrasi dalam pengambilan keputusan. Entah itu pemilihan ketua ataupun pengambilan kebijakan. Sedangkan sudah dimaklumi bahwa saya termasuk manusia yang anti demokrasi.

7. Oragnisasi banyak membuang waktu! Saya katakan membuang, berarti cenderung tidak bermanfaat. Musyawarah yang seharusnya bisa diputuskan oleh beberapa orang “atasan” dan dibantu segelintir orang berilmu, justru mengundang seluruh anggota untuk mebicarakan masalah yang seringnya berakhir dengan kata “rapat ditunda” atau tidak menghasilkan keputusan sama sekali. Benar-benar membuang waktu.

Itulah alasan yang akhirnya ia kemukakan untuk menolak menjadi seorang aktivis. Tentu ia juga tidak ingin mengunci rapat-rapat empang ilmu (kalo lautan berarti udah pinter banget, karena bodoh, masih empang) yang ia miliki. Ia memanfaatkan kelebihan yang Allah berikan padanya untuk menyeru kepada islam. Banyak keuntungan yang ia dapat jika ia terlepas dari gelar aktivis. Ia lebih bebas dalam menggunakan waktu, bisa belajar dengan leluasa (baik ilmu agama maupun ilmu eksak), ia bisa tetap berinteraksi dengan saudara-saudaranya yang telah aktiv di kelompok ini dan itu, ia bisa ikut membantu mereka, ia tidak memiliki sekat, itulah antara lain berbagai keuntungan yang ia rasakan. Namun, ia tidak pernah mendakwahkan pikirannya ini kepada orang lain secara terang-terangan, ia takut akan banyak orang yang tersinggung. Ia hanya berkata bila ada yang bertanya…

Sorry, the comment form is closed at this time.