Tulisan ini saya ambilkan dari makalah yang telah saya susun. Makalah ini berjudul “Aliran Ilmu Kalam Klasik”. Dalam makalah ini saya hanya memasukkan tiga macam aliran dari banyak aliran yang ada. Karena aliran inilah yang banyak pengikutnya, selain itu juga untuk mempersempit wilayah pembahasan. Berikut adalah isi makalah tersebut:
A. MU’TAZILAH
· Metode Kalam Mu’tazilah
Dalam menemukan dalil untuk menetapkan akidah Islam, Mu’tazilah berpegang pada premis-premis logika, kecuali dalam masalah-masalah yang tidak dapat diketahui selain dengan dalil naql (teks). Kepercayaan mereka terhadap kekuatan akal hanya dibatasi oleh penghormatannya terhadap perintah syara’. Dengan kata lain, Mu’tazilah menempatkan rasio atau akal pada posisi yang tinggi dalam kehidupan beragama, sehingga mereka dikenal sebagai kelompok rasionalis dalam Kalam. Status akal yang tinggi di mata Mu’tazilah ini, setidaknya dilatari oleh dua hal penting berikut ini: pertama, manusia mempunyai kemampuan yang besar dengan akalnya; dan kedua, segala perbuatan manusia secara eskatologis tidak ada sedikit pun yang sia-sia. Kedua hal ini mendorong terwujudnya dominasi kuat metode rasional dalam kalam Mu’tazilah, dan pandangan yang antroposentris terhadap masalah akidah, terutama dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Kemajuan perkembangan metode rasional Mu’tazilah juga didorong oleh situasi kritis yang dihadapi akidah Islam pada masanya. Kemunculan kaum zindiq—yang menggunakan filsafat menghantam akidah islam—memaksa tokoh-tokoh Mu’tazilah mempelajari filsafat Yunani untuk menangkis serangan tersebut, lebih-lebih karena hal itu sudah diperintahkan oleh khlaifah al-mahdi (138-167 M), yang sudah melihat bahaya serangan kaum zindiq tersebut. Sebagai akibatnya bukan saja hanya metode rasional yang berkembang di kalangan Mu’tazilah tetapi metode dialektis pun menjadi semakin banyak dipergunakan.
Diantara bentuk metode berfikir yang umum dipergunakan para tokoh Mu’tazilah dalam membahas masalah ketuhanan ialah semacam analogi yang disebut; Qiyas al-gaib ala syahid (menganalogikan yang immaterial atau Tuhan dengan yang nampak atau material atau manusia, yang mungkin hal ini ada hubungannya dengan sikap antroposentris Mu’tazilah. Menurut Ali Sami an-nasyar, metode berfikir ini, yang kemudian banyak dipergunakan para teolog Islam, adalah orisinil dari kalangan Islam sendiri dan bukan pengaruh logika formal Yunani.
Meskipun metode rasional sangat dominan di kalangan Mu’tazilah, namun sebagai teologi islam, para tokohnya juga tidak melupakan teks-teks wahyu (al-Qur’an dan hadis) dalam memformulaskan pendapat-pendapatnya. Al-Qur’an dan hadis bagi mereka tetap diapresiasi sebagai sumber primer atau utama atas kepercayaan akidah yang mereka yakini kebenarannya. Hanya saja sesuai dengan metode rasional yang mereka pegang teguh, yang sangat menjunjung tinggi akal, ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai dan diterima akal, mereka jadikan sebagai pendukung pendapat-pendapat mereka; sedangkan yang tidak demikian, mereka takwilkan secara rasional atau kadangkala dilewatkan begitu saja. Begitu pula sikap mereka terhadap hadis, sumber primer teologi setelah al-Qur’an.
· Lima Doktrin Teologi Mu’tazilah
Ada lima doktrin dasar Mu’tazilah. Kelima buah doktrin dasar Mu’tazilah itu terepresentasikan dalam sebuah rumusan yang dikenal al-Ushul al-Khamsah. Lima doktrin al-Ushul al-Khamsah itu tidaklah lahir dengan utuh secara sekaligus bersama dengan kehadiran Washil bin Atha’, tokoh pertama Mu’tazilah, tetapi melalui proses histaoris yang rumit dan panjang. Washil bin Atha’ sendiri, pendiri dan tokoh utama Mu’tazilah hanya membawa tiga ajaran dan hanya dua darinya yang kelak menjadi bagian integral dari al-Ushul al-khamsah. Ini berarti bahwa lima ajaran dasar Mu’tazilah al-ushul al-Khamsah itu baru eksis ketika ajaran Washil mengalami penyempurnaan di tangan para murid dan penerusnya, bukan di tangan Wasil sendiri. Al-Ushul al-Khamsah Mu’tazilah itu, dalam wujudnya yang lengkap, mungkin telah muncul pada masa Abasiah periode pertama (750-847 M), tepatnya menjelangan Mu’tzilah mencapai puncak kejayaannya.
Tata urutan lima doktrin dasar al-Ushul al-Khamsah disusun menurut derajat urgensinuya tiap-tiap dasar. Di kalngan Mu’tazilah rupanya masih terjadi perbedaan pandangan menyangkut pengurutan dari lima doktrin itu, kecuali dalam hal penempatan tauhid sebagai rukun pertama. Al-Qadli Abdul Jabbar (w. 1025 M) dalam bukunya Syarh al-Ushul al-Khasah, yang barangkali merupakan pandangan umum di kalangan Mu’tazilah, karena sejalan dengan model pengurutan di dalam berbagai buku tentang ilmu kalam atau teologi Islam, menyebutkan lima doktrin dasar Mu’tazilah dengan urutan baku sebagai berikut ini: at-Tauhid (Kemahaesaan Tuhan), al-‘Adl (Keadilan Tuhan), al-Wa’ad wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman), al-Manzilah bain al-Manzilatain (Posisi diantara dua Posisi), al-Amr bi al-ma’ruf wa an-Nahy ‘an al-Munkar (Perintah berguat baik dan larangan berbuat jahat).
Lima doktrin dasar yang menjadi rukun al-ushul al-khamsah Mu’tazilah itu merupakan satu kesatuan integral yang harus diterima dan diyakin oleh setiap orang Mu’tazilah. Sebagai implikasinya, setiap orang Mu’tazilah mutlak harus mengakui dan menerima lima doktrin dasar itu secara utuh; atau seseorang baru layak diterima sebagai orang mu’tazilah apabila yang bersangkutan sudah menerima kebenaran lima dogma itu. Abu Hasa al-Hayyat dalam bukunya al-Intishar mengatakan, orang yang diakui sebagai pengikut Mu’tazilah hanyalah mereka yang mengakui dan menerima secara bulat lima dasar itu. Penolakan apalagi pengingkaran terhadap salah satu (atau lebih) dari lima doktrin itu—lebih-lebih seluruhnya—akan mengakibatkan orang yang bersangkutan dikeluarkan dari sebutan sebagai orang Mu’tazilah.
Sungguh pun setiap orang Mu’tazilah wajib mengakui dan menerima lima doktrin fundamental tersebut, namun tidak jarang mereka berbeda dalam hal interpretasinya. Hanya saja karena perbedaan semacam ini lebih bersifat furu’iyah atau instrumental, bukan esensial atau prinsipiil, maka yang demikian ini tidak berimplikasi pada pengeluaran yang bersangkutan dari sebutan sebagai orang Mu’tazilah.
Adapun penjelasan secara lebih terinci mengenai lima doktrin teologis Mu’tazilah yang terhimpun dalam al-ushuil al-Khamsah dapat dilihat pada uraian di bawah ini.
1. At-Tauhid (Kemahaesaan Tuhan)
Tauhid merupakan ajaran inti Mu’tazilah. Sebenarnya doktrin yang beresensikan pada pengesaan Tuhan ini merupakan prinsip dasar Islam, sehingga bukan menjadi karakteristik atau monopoli Mu’tazilah. Hanya saja mungkin karena Mu’tazilah merasa dirinya paling menegakkan Kemahaesaan Tuhan, dengan konsep-konsep filosofis dan menempatkan Tuhan bersifat unik, mereka mengklaim dirinya sebagai ahl at-tauhid. Esensi doktrin tauhid Mu’tazilah adalah memurnikan Kemahaesaan Tuhan, tidak keserupaan dengan makhluk, dan menolak segala bentuk pemikiran yang dapat membawa kepada faham syirik atau politeisme. Dalam konteks ini Mu’tazilah menolak pandangan yang menetapkan sifat Tuhan dalam arti sifat yang hipotastik atau berbeda dengan zat, karena hal demikian mengimplikasikan dalam diri Tuhan terdapat kejamakan yakni unsur zat yang disifat dan unsur sifat yang melekat pada zat. Menurut Mu’tazilah, faham seperti itu berimplikasi pada ta’addud al-qudama’, karena itu mesti dihindarkan. Dikarenakan yang bersifat qadim itu—kata Mu’tazilah—hanyalah Tuhan, maka ta’addud al-qudama’ membawa kepada faham yang mengakui Tuhan berunsur banyak, dan ini jelas termasuk syirik yang merupakan dosa terbesar yang tidak akan diampuni oleh Tuhan.
Dalam upaya memurnikan ajaran tauhid, Mu’tazilah meniadakan sifat-sifat Tuhan (nafy as-sifat). Ini bukan berarti mereka menolak ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan sifat-sifat Tuhan seperti ar-rahman, ar-rahim, al-‘alim, al-qadir dan sebagainya. Maksud nafy sifat di sini, sebagai dijelaskan oleh Wasil, adalah apa yang disebut sebagai sifat Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri di luar zat atau esensi Tuhan, tetapi sifat yang merupakan esensi atau zat Tuhan. Dengan kata lain, dalam menandaskan Kemahaesaan Tuhan Wasil menegaskan bahwa sifat-sifat itu tidak mempunyai bentuk yang berdiri sendiri atau keberadaan yang hipostatik, tetapi menyatu dan tidak berbeda dengan zat. Lebih jauh, karena Tuhan mengetahui, misalnya, maka Ia mengetahui dengan zat atau esenti-nya, bukan dengan sifat mengetahui (pengetahuan) hipostatik maupun yang berlainan dengan esensi-Nya.
Selanjutnya Mu’tazilah membagi sifat-sifat Tuhan menjadi yang dzatiyah dan fi’liah. Sefat dzatiah adalah sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan, sedangkan sifat fi’liah adalah perbuatan-perbuatan Tuhan. Sifat-sifat kategori fi’liah terdiri dari sifat-sifat yang mengandung arti hubungan antara Tuhan dengan makhluk-Nya, seperti berkehendak, sabda, keadilan dan semisalnya. Yang dimaksudkan sifat dzatiah misalnya, wujud, tidak berpermulaan, hidup, berkuasa dan sebagainya. Dengan demikian yang dimaksudkan oleh Mu’tazilah dengan peniadaan sifat-sifat Tuhan, ialah memandang sebagian dari apa yang disebut golongan lain sifat, sebagai esensi Tuhan; dan sebagian lain sebagai perbuatan-perbuatan Tuhan. Faham ini timbul karena keinginan mereka untuk menjaga kemurnian Kemahaesaan Tuhan, yang dinamakan tanzih dalam terminologi arabnya.
Pandangan Mu’tazilah tentang peniadaan sifat Tuhan berimplikasikan pada diskusi al-Qur’an. Fokus persoalan diskusinya adalah apakan al-Qur’an diciptakan sehingga sebagai makhluk atau tidak dicipta oleh Tuhan; yang pertama mengakibatkan kebaharuan al-Qur’an, sedangkan yang kedua berujung pada pengakuan keabadian (kekekalan) al-Qur’an. Sejalan dengan doktrinnya tentang nafy as-sifat dan yang qadim hanya Tuhan, sudah tentu Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an—karena memang muncul dalam suatu titik waktu tertentu, yaitu ketika diwahyukan kepada nabi Muhamad—dicipta (makhluk) dan karenanya mesti baru, tidak qadim. Dengan konsep kemakhlukan al-qur’an ini, Mu’tazilah tampak konsisten dengan fahamnya bahwa yang qadim itu hanya Allah; kalau al-Qur’an qadim berarti yang qadim (Tuhan) itu banyak, dan yang demikian ini tentu merusak kemurnian Kemahaesaan Tuhan.
2. Al-‘Adl (Keadilan Tuhan)
Relevan dengan sifat integralitas al-Ushul al-Khamsah, doktrin pokok kedua (al-‘adl) tidak terpisah tetapi sangat berkaitan dengan at-tauhid. Kalau dengan at-tauhid Mu’tazilah bermaksud mensucikan diri Tuhan dari persamaan dengan diri makhluk, maka dengan al-‘adl mereka berkeinginan mensucikan perbuatan-Nya dari persamaan dengan perbuatan makhluk. Menurut Mu’tazilah, hanya Tuhan yang Mahaadil; Ia tidak bertindak dzalim, sedangkan pada makhluk terdapat perilaku dzalim. Dengan kata lain, kalau at-tauhid menegaskan keunikan diri Tuhan, maka al-‘adl menandaskan keunikan perbuatan Tuhan. Apabila disebut Tuhan Mahaadil, maka itu berarti bahwa semua perbuatan Tuhan adalah baik; Ia tidak berbuat buruk dan tidak melupakan apa yang wajib dikerjakan-Nya. Dengan demikian Tuhan tidak berdusta, tidak dzalim, tidak menyiksa anak-anak orang politeis lantaran dosa orang tua mereka, tidak menurunkan mukjizat bagi pendusta, tidak memberikan beban yang tidak dapat dipikul oleh manusia.
Dalam membahas keadilan Tuhan, ada perbedaan insturmental di kalangan tokoh Mu’tazilah. Abu Hudzail al-Allaf berpendapat bahwa Tuhan berkuasa atau mampu bertindak dzalim, hanya saja mustahil Ia berbuat semacam itu, karena hal itu mengakibatkan kekurang-sempurnaan sifat Tuhan; pandang Hudzail ini sejalan dengan pemikiran al-Qadli Abdul Jabbar. Berbeda dengan pandangan itu, an-Nazzam (w. 221 H/835 M) berpendapat bahwa bukan hanya mustahil Tuhan berbuat aniaya atau tidak adil, bahkan Ia tidak mampu (la yaqdir) berlaku dzalim. Argumen yang disampaikan oleh an-Nazzam adalah “karena kezaliman hanya dilakukan oleh orang yang mempunyai cacat dan berhajat atau oleh orang yang tidak mengetahui pegetahuan atau bodoh. Tidak berpengetahuan dan berhajat kepada pihak lain adalah sifat bagi yang tidak sempurna, sedangkan Tuhan Mahasuci dari hal yang demikian itu. Oleh karena itu an-Nazzam berpandangan bahwa Tuhan tidak mampu dan tidak sanggup berbuat tidak baik; dan selanjutnya Tuhan berbuat hanya yang baik bagi manusia, yang disebut dalam istialh Mu’tazilah as-salah wa al-aslah. Lebih jauh Ia tidak kuasa mengeluarkan ahli surga dari surga sebagaimana Ia tidak mampu memasukkan orang yang bukan ahli neraka ke dalam neraka; dan Tuhan tidak berkuasa mengurangi kesenangan ahli surga, atau menambah siksaan ahli neraka.
Prinsip keadilan Tuhan tersebut menuntut Mu’tazilah mengakui kebebasan manusia dalam berkehendak dan berbuat. Dalam hal penegasan terhadap keadilan itu kaum Mu’tazilah dipandang sebagai pewaris Khawarij dan terutama Qadariah, yang menetapkan kebebasan berbuat pada manusia dan sekaligus tanggunng jawab manusia atas perbuatannya itu. Doktrin keadilan Tuhan ini, tentu beserta implikasinya berupa pengakuan kebebasan berbuat dan tanggung jawab manusia, dimaksudkan oleh Mu’tazilah sebagai bentuk penolakan terhadap Jabariah; karena siksaan terhadap ketidakbebasan, menurut Mu’tazilah, jelas merupakan suatu ketidk-adilan atau kedzaliman, dan yang demikian ini mustahil bagi Allah. Dalam hal ini Jabariah, dalam penilaian Mu’tazilah, keliru besar karena telah menetapkan perbuatan manusia diciptakan Tuhan, kemudian manusia yang menerima balasan pahala atau siksa neraka dari perbuatan yang diciptakan Tuhan itu. Tidaklah disebut Mahaadil, sekiranya Tuhan menghukum orang yang berbuat buruk bukan atas kemauannya sendiri, tetapi atas paksaan dari luar dirinya. Oleh karena itu kaum Mu’tazilah mengambil faham Qadariah, karena faham inilah yang sesuai dengan prinsip keadilan Tuhan tersebut.
3. Al-Wa’ad wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman)
Berlainan dengan dua doktrin teologis sebelumnya, tiga butir lainnya dari lima doktrin Mu’tazilah hampir kurang pernah muncul dalam diskusi-diskusi teologis. Doktrin Mu’tazilah butir ketiga al-manzilah bain al-manzilatain, yang secara hisotoris sebagai kelanjutan dari diskusi teologis antara Mur’ji’ah dan Khawarij, adalah merupakan kelanjutan logis dari dua ajaran dasar Mu’tazilah sebelumnya. Sesuai dengan doktrin keadilan Tuhan yang Mu’tazilah tegakkan atas kebebasan berbuat manusia atau Qadariah di atas, Tuhan tidak dapat dikatakan adil kalau tidak memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan atau tidak menghukum orang yang berbuat jahat. Prinsip keadilan seperti ini jelas mengharuskan secara mutlak supaya orang yang berbuat jahat diberi hukumanan dan orang yang berbuat baik diberi pahala, sebagaimana dijanjikan oleh Allah; perbuatan dosa tidak diampuni tanpa bertaubat sebagaimana pahala tidak diharamkan terhadap orang yang berbuat baik.
4. Al-Manzilah bain al-Manzilatain.
Doktrin teologis al-manzilah bain al-manzilatain, yang secara harfiah berarti satu posisi diantara dua posisi, keterkaitan logisnya dengan ajaran Mu’tazilah tentang al-‘adl di atas. Bagi Mu’tazilah, muslim pelaku dosa besar bukanlah kafir, karena ia masih percaya kepada Tuhan dan nabi Muhamad; tetapi karena bukan pula mukmin, karena keimannya tidak lagi sempurna. Karena bukan mukmin maka ia tidak masuk surga, dan karena juga bukan kafir maka secara logis sebenarnynya ia juga tidak layak masuk neraka. Idialnya ia harus ditempatkan pada sebuah tempat yang posisinya berada diantara surga dan neraka, di luar surga dan neraka; inilah konsep keadilan yang semestinya. Akan tetapi karena di akhirat kelak, menurut Mu’tazilah, tiada tempat selain surga dan neraka, maka muslim pelaku dosa besar harus dimasukkan kedalam salah satu dari dua tempat itu. Dalam konteks ini erat kaitannya dengan konsep iman yang disampaikan oleh Mu’tazilah; karena bagi mereka iman bukan hanya pengakuan hati dan penuturan lisan, tetapi juga mewujud dalam bentuk perbuatan, maka muslim pelaku dosa besar bukanlah mukmin dan oleh karena itu tidak dapat masuk surga, dan satu-satunya tempat baginya adalah neraka. Tetapi rasanya kurang adil kalau mereka mendapat siksa seberat siksa orang kafir, karena itu meski masuk neraka, siksaan yang diterima olehnya lebih ringan daripada siksaan orang kafir. Dan inilah menurut mu’tazilah posisi tengah antara mukmin dan kafir di akhirat, baik di dunia maupun diakhirat, dan begitulah keadilan Tuhan.
5. Al-Amr bi al-Ma’ruf wa an-Nahy ‘an al-Munkar.
Sebenarnya doktrin perintah melaksanakan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran bukan hanya kewajiban kaum Mu’tazilah, tetapi seluruh kaum muslimin. Hanya saja di kalangan umat Islam terjadi perbedaan dalam tingkat operasionalnya, dan Mu’tazilah memberikan penjelasan itu secara khas. Berlainan dengan Khawarij yang melaksanakan doktrin ini langsung melalui jalan kekerasan, Mu’tazilah terlebih dulu menempuh jalan seruan persuatif dan kalau cara yang pertama ini ternyata tidak efektif, baru kemudian boleh ditempuh dengan cara berikutnya yakni kekerasan seperti yang ditempuh oleh Khawarij.
Mu’tazilah dalam sejarahnya pernah mengimplementasikan doktrin dasarnya yang terkakhir ini melalui cara kekerasan. Jalan kekerasan itu mereka tempuh bukan saja ketika membela doktrin akidah Islam dari serangan kalangan out sider sepeti kaum zindiq zaman Abbasiah, yang bertujuan menghancurkan sendi-sendi Islam; tetapi jauga ketika memaksakan pandangannya tentang kemakhlukan al-Qur’an melalui kebijakan mihnah zaman al-Makmun kepada kalangan internal umat Islam, terutama ahli fikih dan ahli hadis.
B. AHL AL-SUNNAH-SALAFIAH
· Pengertian dan Sejarah Salaf
Secara etimologis, perkataan Arab “salaf” secara harfiah berarti “yang terdahulu” atau “yang lampau”. Biasanya ia dipertentangkan dengan perkataan “khalaf”, yang makna harfiahnya ialah “yang belakangan”. Secara terminologis, Ibrahim Madkur menjelaskan bahwa golongan salaf (Salafiyun), atau yang biasa disebut dengan Salaf al-Shalih, adalah mereka yang berpegang teguh kepada atsar (hadis), lebih mengutamakan riwayah daripada dirayah, dan mengutamakan naql (wahyu) daripada ‘aql (akal). Mereka mengklaim dirinya sebagai Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (golongan penegak sunah dan mayoritas umat), karena paham akidah mereka dianggap orisinil dari ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhamad saw sebagaimana yang diterima oleh umat Islam generasi pertama. Dengan demikian, kaum salaf adalah orang-orang yang mengidentifikasikan pemikiran akidahnya dengan para Salaf atau pengikut aliran salaf dalam bidang akidah.
Madzhab Salaf muncul pada abad keempat Hijrah. Mereka terdiri dari para ulama Hanabilah, para pengikut Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/855 M) yang ingin mereviatalisasi akidah ulama salaf dan berusaha menolak paham lainnya. Paham ini muncul kembali pada abad ketujuh Hijrah oleh Ibn Taimiyah (w. 729 H/1329 M), ia kemudian dikenal sebagai tokoh yang menformulasikan doktrin salaf secara lengkap. Selanjutnya pada abad ke-12 Hijrah pemikiran serupa muncul kembali di jazirah Arab dihidupkan oleh Muhamad bin Abdul Wahab, yang kemudian dikenal dengan gerakan wahabinya.
· Pemikiran Kalam Ulama Salaf
Kaum salaf juga membahas masalah-masalah akidah, seperti wahdaniyyah (keesaan Tuhan), sifat-sifat-Nya, perbuatan manusia, al-Quran adalah makhluk dan bukan makhluk, serta beberapa sifat dan ayat yang mengandung keserupaan Tuhan dengan makhluk.
1. Keesaan Tuhan
Kaum Salaf memandang wahdaniyah sebagai asas pertama Islam. Mereka menginterpretasikan wahdaniyah dengan suatu interpretasi yang secara keseluruhan sesuai dengan apa yang dipegangi oleh kaum Muslimin pada umumnya, kecuali beberapa hal. Misalnya, mereka berkeyakinan bahwa mengangkat perantara untuk mendekatkan diri (tawassul) kepada Allah dengan salah seorang hamba-Nya yang telah mati adalah bertentangan dengan tauhid; berziarah ke raudlah seraya menghadap kepadanya adalah menyalahi prinsip ketauhidan; berdoa sambil menghadap ke kubur Nabi atau wali adalah menafikan ketauhidan, demikian seterusnya. Keesaan Tuhan menurut mereka, sebagaimana juga ditegaskan ulama, meliputi: keesaan dzat dan sifat, keesaan penciptaan dan keesaan sebagai yang disembah.
2. Keesaan dzat dan sifat.
Kaum muslimin sepakat bahwa Allah Maha Esa; tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan-Nya. Ibn Taimiyah berkata, kata tauhid, tanzih, tasybih dan tajsim, merupakan beberapa kata bermakna konotatif yang disebabkan oleh berbagai istilah para ahli kalam dan lainnya. Tiap-tiap kelompok memaksudkan istilah-istilah itu untuk suatu makna yang tidak dimaksudkan oleh kelompok lainnya. Menurut kaum salaf, perbedaan ulama menganai makna-makna ini tidak mengakibatkan kekafiran, karena hanya menyangkut perbedaan interpretasi dan bukan perbedaan pada esensinya. Kaum salaf hanya memandang sesat kelompok yang menentang pandangannya, tidak sampai mengkafirkan. Diantara kelompok yang dipandang kaum salaf sesat adalah: filosof, Mu’tazilah, kaum Sufi yang berfaham ittihad dan hulul.
3. Sifat-sifat Tuhan.
Mazhab salaf menetapkan segala sifat Tuhan yang terdapat dalam al-Quran dan sunah, termasuk sifat-sifat yang mengandung keserupaan dengan makhluk. Sifat-sifat Tuhan yang mengandung keserupaan dengan makhluk, seperti sifat-sifat lainnya, mereka terima secara literal tanpa memberikan takwil, sehingga mereka berkeyakinan bahwa Tuhan itu bertangan, berwajah dan sebagainya. Hanya saja mereka berprinsip bahwa sifat-sifat Tuhan itu bersifat unik, tidak sama dengan makhluk; Tuhan bertangan, misalnya, mereka akui tetapi tangan Tuhan sama sekali tidak sama dengan tangan makhluk.
4. Al-Quran (Kalamullah).
Menurut kaum salaf, al-Quran merupakan kalamullah. Allah berbicara dan menurunkan wahyu melalui al-Quran kepada Nabi-Nya. Qiraat al-Quran merupakan suara pembaca al-Quran yang terdengar, dan qiraat semacam itu bukan al-Quran. Ibn Taimiyah memandang bahwa tiada hubungan antara al-Quran sebagai firman Allah yang bukan makhluk dan ke-qadim-an al-Quran. Ia berpendapat bahwa al-Quran merupakan firman Allah dan bukan makhluk tanpa memutuskan bahwa ia qadim. Ia berkata, golongan salaf sepakat bahwa firman Allah yang tidak diturunkan itu tidak diciptakan; ini membuat orang menduga kaum salaf berpendapat Quran itu qadim, padahal mereka tidak pernah mengatakan seperti itu. Al-Quran itu bukan merupakan sifat Kalam yang qadim (yang berdiri sendiri pada zat-Nya). Kalam Allah qadim adalah ketika Ia berbicara dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, namun ketika dikatakan bahwa Allah memanggil dan berbicara dengan suara, maka tidak berarti suara itu qadim. Dengan demikian dapat kita simpulkan, bahwa menurut kaum salaf, sifat kalam itu qadim, dan kalam Allah yang digunakan untuk berbicara dengan makhluk-Nya seperti al-Quran, Taurat dan Injil, adalah bukan makhluk-Nya, tetapi bukan pula qadim.
5. Keesaan dalam penciptaan.
Allah menciptakan dunia seisinya tanpa ada sekutu dan tanpa ada penentang kekuasaan-Nya. Tidak ada kehendak makhluk yang menentang atau yang mempengaruhi kehendak sang Pencipta.
6. Memohon pertolongan kepada selain Allah.
Memohon pertolongan (istighasah) kepada selain Allah menurut pandangan kaum salaf dilarang secara mutlak. Sebagaimana istighasah hanya ditujukan kepada Allah, maka ampunan juga hanya dari Allah. Ibn Taimiyah mengutip dari Abu Yazid al-Busthami mengatakan: “Memohon pertolongan kepada makhluk adalah bagaikan orang tenggelam yang memohon pertolongan kepada sesama orang yang tenggelam”.
7. Ziarah ke kuburan orang saleh dan kuburan Nabi saw.
Ziarah ke kuburan orang saleh dengan maksud mencari keberkatan atau keberuntungan atau mendekatkan diri kepada Allah tidak boleh. Namun, jika maksud ziarah itu adalah mengambil pelajaran (i’tibar), maka hukumnya boleh bahkan disunatkan.
C. ASY’ARIYAH (AHL AL-SUNNAH-AL-KHALAF)
· Asy’ari dan Latar Belakang Lahirnya Asy’ariyah
Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Bardah bin Abi Musa al-Asy’ari (260-324 H) dianggap sebagai pendiri alirah Asy’ariyah. Lahir di Bashrah, dan sampai usia 40 tahun dia masih merupakan seorang penganut kalam Mu’tazilah. Dia sering menggantikan gurunya dalam mengajar. Tetapi dalam usia kematangan berpikir seseorang, dia mengalami konversi. Dia meninggalkan paham Mu’tazilah yang dianutyna bepuluh-puluh tahun, dan berbalik menyerangnya dengan alat yang digunakan aliran itu sendiri, dan sekaligus menetapkan paham baru yang dianutnya. Paham ini kemudian diikuti banyak orang sehingga lahirlah Asy’ariyah sebagai salah satu aliran kalam dalam Islam.
Mengenai sebab-sebab konversi akidah yang dialami oleh Asy’ari ada berbagai versi riwayat. Jalal Musa, seorang analisis kontemporer mengenai masalah ini, menjelaskan sebab intrinsik berupa pergolakan spiritual Asy’ari sendiri. Di bidang kalam, di seorang Mu’tazilah dan berguru dengan al-Juba’i; sedangkan di bidang fikih, dia bermazhab Syafi’i dan berguru dengan Abu Ishaq al-Marwazi (w. 340 H), seorang tokoh mazhab Syafi’i di Irak. Dari kedua sisi kehidupan intelektualnya ini, Asy’ari melihat adanya dua kubu yang memilah-milah umat dengan kekuatannya masing-masing, yaitu kubu ulama kalam dengan kekuatan metode rasionalnya, dan kubu ulama fikih dan hadis dengan kekuatan metode tekstualnya. Kekuatan dua kubu tersebut diketahuinya dan ia pun memilikinya. Karena itu timbulah keinginannya untuk menyatukan kedua kekuatan itu dalam suatu aliran, sehigga para ulama kedua kubu itu dapat diintegrasikan pula. Realisasi idenya ini dimulai dengan peristiwa konversi tersebut.
Di samping membicarakan masalah penyebab intrisik peristiwa konversi, para ahli juga membahas banyak event sejarah yang melatari konversi yang dialami Asy’ari tersebut. Antara lain adalah riwayat dari al-Subki dan Ibn Asakir, yakni tentang hadirnya Nabi saw dalam mimpi Asy’ari dan memberitahu kepadanya bahwa mazhab ahli hadis yang benar, bukan Mu’tazilah yang selama ini ia anut. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Asy’ari dengan gurunya (al-Juba’i) berdebat mengenai persoalan kedudukan orang mukmin, kafir dan anak kecil di akhirat. Dalam perdebatan terebut, al-Juba’i tidak dapat memberikan jawaban tuntas yang memuaskan Asy’ari. Inti riwayat-riwayat tersebut adalah, bahwa Asy’ari sedang dalam keadaan ragu-ragu dan tidak merasa puas lagi dengan airan Mu’tazilah yang dianutnya tidak kurang dari 40 tahun.
Terlepas dari berbagai analisis yang dikemukakan di atas, yang jelas dan merupakan fakta sejarah adalah bahwa Asy’ari keluar dari Mu’tazilah dan kemudian membentuk aliran baru, ketika Mu’tazilah sedang berada dalam fase kemunduran (kelemahan). Yaitu setelah al-Mutawakil membatalkannya sebagai mazhab resmi negara, yang selanjutnya diikuti oleh sikap khalifah berpihak kepada Ahmad bin Hanbal (tokoh ahli hadis/salaf), rival Mu’tazilah terbesar waktu itu. Dalam hal ini, Asy’ari menegaskan dirinya sebagai pengikut Ahmad bin Hanbal, tokoh salaf yang disebutnya sebagai Ahl al-Sunnah.
· Pemikiran Kalam Asy’ari
Sebagai orang yang pernah menganut faham Mu’tazilah, Asy’ari tidak dapat memisahkan diri dari pemakaian akal atau argumentasi rasional. Ia menentang orang-orang yang mengatakan bahwa pemakaian akal pikiran dalam soal agama dianggap suatu kesalahan. Sebaliknya, ia juga mengingkari orang-orang yang berlebihan dalam menghargai akal pikiran semata sebagaimana aliran Mu’tazilah.
Diantara pemikiran Asy’ari dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Sifat Tuhan
Menurut Asy’ari, Tuhan mempunyai sifat. Tuhan tidak mungkin mengetahui dengan zat-Nya, karena dengan demikian berarti zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Sedangkan Tuhan bukanlah pengetahuan (‘ilm), melainkan Yang Mahamengetahui (al-‘Alim). Selanjutnya ia tegaskan, Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar, melihat dan sebagainya. Dengan demikian jelaslah bahwa pemikiran Asy’ari tentang sifat Tuhan ini beberlainan dengan paham Mu’tazilah yang pernah ia anut. Bila Tuhan mempunyai sifat, persoalan yang muncul adalah apakah sifat-sifat Tuhan itu kekal sehingga menimbulkan paham banyak yang kekal (ta’addud al-qudama’)—sebagai yang dikhawatirkan oleh Mu’tazilah—membawa kepada paham kemusyrikan. Dalam kaitan ini, Asy’ari mengatasinya dengan mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan. Karena sifat-sifat itu tidak lain dari Tuhan, adanya sifat-sifat tersebut tidak membawa kepada paham banyak yang kekal.
2. Kekuasaan Tuhan dan Perbuatan Manusia.
Tentang kekuasaan Tuhan, Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak, kemutlakan kekuasaannya tidak tunduk dan terikat kepada siapa dan apa pun. Tuhan dapat berkehendak menurut apa yang dikehendaki-Nya. Dengan paham kekuasaan mutlak di tersebut, Asy’ari menolak paham keadilan Tuhan yang dibawakan oleh Mu’tazilah. Bila menurut paham keadilan, Tuhan wajib memberikan pahala (balasan baik) kepada orang yang berbuat baik dan hukuman bagi orang pelaku dosa, maka menurut Asy’ari tidak demikian halnya. Bagi Asy’ari, Tuhan berkuasa mutlak, dan tak satu pun yang wajib bagi-Nya. Tuhan berbuat sekehendak-Nya, sehingga kalau Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam surga bukanlah Ia bersifat tidak adil, dan jika Ia masukkan seluruhnya ke dalam neraka tidak pula Ia bersifat zalim.
Mengenai perbuatan manusia, menurut Asy’ari bukanlah diwujudkan oleh manusia sebagaimana pendapat Mu’tazilah, tetapi diciptakan oleh Tuhan. Dalam hal ini Asy’ari mengemukakan alasan logika sebagaimana yang dikutip oleh Abdurrahman Badawi: Kita ketahui bahwa kufur itu adalah buruk, merusak, batil dan bertentangan, sedang perbuatan iman itu adalah bersifat baik, tapi berat dan sulit. Sebenarnya orang kafir ingin dan berusaha agar perbuatan kafir itu baik dan benar, tetapi hal itu tidak dapat ia wujudkan. Sebaliknya, orang mukmin menginginkan agar perbuatan iman itu tidak berat dan sulit, tetapi hal itu tidak dapat pula ia wujudkan. Dari argumen logika ini tampaknya manusia—menurut Asy’ari—tidak memiliki daya (qudrat atau istitha’ah) yang efektif untuk mewujudkan kehendak ke dalam bentuk perbuatan. Selanjutnya, ia katakan bahwa yang mewujudkan perbuatan kafir atau perbuatan iman bukanlah orang kafir atau mukmin itu sendiri yang memang tak sanggup membuat kufr itu bersifat baik/benar dan membuat perbuatan iman itu menjadi mudah dan tidak sulit. Jadi, pencipta perbuatan kafir dan iman yang sebenarnya (hakiki) dalam hal ini adalah Tuhan yang memang menghendaki hal yang demikian.
Dari gambaran di atas dapat diketahui bahwa untuk mewujudkan perbuatan bagi manusia diperlukan adanya kehendak (al-masyi’ah) dan daya (qudarah atau al-istitha’ah). Dalam hal ini terdapat dua daya, yakni daya manusia yang digerakkan (tidak efektif) dan daya Tuhan, Penggerak (efektif). Mengingat daya yang efektif adalah daya Tuhan, maka sebenarnya perbuatan yang terjadi pun adalah perbuatan Tuhan, sedang manusia dalam hl ini hanya memperoleh perbuatan. Inilah agaknya yang dimaksud dengan “kasb” menurut pandangan Asy’ari. Atau dengan perkataan lain, kasb adalah ketergantungan daya dan kehendak manusia kepada perbuatan yang ditentukan dan diciptakan oleh Tuhan sebagai pelaku hakiki. Dengan demikian manusia tidak mempunyai kebebasan dan kekuatan mewujudkan perbuatannya. Oleh karena itu, setidaknya dari sudut ketidakmampuan manusia dalam berbuat ini, Asy’ari lebih dekat dengan faham Jabariah.
3. Keadilan Tuhan.
Berbeda dengan paham keadilan Tuhan menurut Mu’tazilah yang jelas bertentangan dengan doktrin kekuasaan mutlak Tuhan dalam pandangan Asy’ari, paham keadilan Tuhan menurut Asy’ari tidak bertentangan dan atau mengurangi kekuasaan mutlak Tuhan. Sebaliknya, bahkan paham keadilan Tuhan merupakan manifestasi dari kehendak mutlak Tuhan. Tuhan sebagai pemilik sebenarnya (al-Mulk) dapat berkuasa sepenuhnya sesuai dengan apa yang Ia kehendaki. Jadi keadilan yang dimaksud di sini adalah menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya sesuai dengan kehendak pemiliknya. Kalau Tuhan berbuat sesuatu dalam pandangan manusia itu adalah salah, bukan berarti itu dianggap salah, dan tidak dapat dikatakan Tuhan tidak adil, karena Tuhan dapat berbuat apa saja yang Ia kehendaki.
4. Melihat Tuhan di akhirat.
Menurut Asy’ari, Tuhan dapat dilihat oleh manusia di akhirat kelak. Dalil yang ia kemukakan untuk ini, antara lain adalah QS. Al-Qiyamah ayat 32-33. Pengertian al-nazhr dalam ayat tersebut bukanlah i’tibar (memikirkan) atau al-intizhar (menunggu) seperti yang terdapat dalam QS. 88: 17 dan 36: 49, melainkan berarti melihat dengan mata.
Selain dalil berupa ayat al-Quran, Asy’ari juga mengemukakan alasan logika. Menurutnya, sifat-sifat yang tidak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang membawa kepada arti Tuhan itu diciptakan. Sedangkan sifat “Tuhan dapat dilihat” tidak membawa kepada hal yang demikian, karena apa yang dilihat tidak mesti mengandung arti bahwa ia mesti bersifat diciptakan. Sehubungan dengan pandangannya ini, Asy’ari mengartikan QS. al-An’am ayat 103—la tudrikhu al-abshar wa huwa yudrik al-abshar—dengan mengatakan bahwa ayat ini menjelaskan keadaan orang kafir sebagai suatu siksaan, yakni orang kafirlah yang di akhirat nanti tidak dapat malihat Tuhan.
5. Anthropomorphisme (tajassum).
Berlainan dengan Mu’tazilah, Asy’ari berpandangan bahwa Tuhan punya wajah, tangan, mata dan yang semisal dengannya, karena hal ini sesuai dengan penegasan ayat al-Quran. Misalnya: QS. al-Rahman ayat 37, al-Maidah ayat 67 dan al-Qamar ayat 14. Adapun tentang bagaimana bentuk dan ukuran wajah, tangan, mata dan yang semisal itu, dalam hal ini Asy’ari hanya mengatakan “bila kaifa atau la yukayyaf wala yuhad” (tidak ditentukan bagaimana bentuk dan ukurannya). Bagi Asy’ari, masalah ini tanpaknya dipandang sebagai persoalan yang berada di luar batas kemampuan akal manusia.
6. Al-Quran (Kalamullah).
Menurut pendapat Asy’ari, al-Quran bukan makhluk sebagaimana pendapat Mu’tazilah. Bila al-Quran diciptakan, kata Asy’ari, berarti ia butuh kepada kata ‘kun’ (jadilah), karena untuk menciptakan itu diperlukan adanya kata ‘kun’ sesuai dengan firman Allah: innama qawluna li syai’ idza aradnahu an naqula lahu kun fayakun. Sedangkan untuk penciptaan kata ‘kun’ tentu perlu pula kata ‘kun’ yang lain, dan begitu seterusnya sehingga terjadi rentetan kata-kata ‘kun’ yang tidak berkesudahan. Hal yang demikian ini, menurut pandangan Asy’ari adalah tidak mungkin. Oleh karena itu, Asy’ari berpandangan bahwa al-Quran itu tidak diciptakan.
7. Pelaku dosa dan konsep iman.
Bagi Asy’ari, orang yang berdosa besar adalah tetap mukmin, karena imannya masih ada, tetapi karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasiq. Alasannya adalah sekiranya orang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir (posisi tengah atau menempati antara keduanya), maka di dalam dirinya tidak didapati kufr atau iman. Dengan demikian, ia bukan ateis dan bukan pula teis (bertuhan), dan hal demikian ini tidak mungkin. Oleh karena itu, Asy’ari menolak konsep al-manzilah bain al-manzilatain Mu’tazilah karena tidak mungkin orang yang berbuat dosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir.
Sejalan dengan pemikirannya tadi, Asy’ari tidak memandang amal perbuatan sebagai unsur esensial (ushul) dari iman. Perbuatan tidaklah berpengaruh langsung terhadap iman, dalam arti tidak dapat menghilangkan iman seseorang, meski yang dilakukannya itu adalah dosa besar. Hanya saja, akibat dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasiq. Dengan demikian, batasan iman menurut Ay’ari adalah tashdiq bi Allah—maksudnya, unsur esensialnya iman.
8. Pengiriman utusan Allah atau rasul.
Berangkat dari pengakuan kekuasaan mutlak Tuhan, Asy’ari memandang bahwa Tuhan tidak memiliki kewajiban mengutus rasul kepada umat manusia, meski pengutusannya itu memiliki arti penting bagi kemaslahatan umat manusia. Semuanya itu dilakukan oleh Tuhan lebih berdasarkan kepada kehendak mutlak-Nya.
9. Janji dan ancaman.
Sebagaimana pendapat tentang pengiriman rasul yang lebih didasarkan kepada kehendak mutlak Tuhan, pandangan Asy’ari tentang janji dan ancaman juga berlandaskan kepada paham adanya kehendak mutlak Tuhan itu. Tidak wajib bagi Tuhan untuk memberikan pahala (balasan baik) bagi orang yang berbuat baik dan tidak wajib pula bagi-Nya memberikan hukuman siksaan terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat. Oleh karena itu, Asy’ari menentang ajaran wa’ad dan wa’id sepanjang pengertian yang dimaksudkannya adalah sebagaimana yang dianut oleh kaum Mu’tazilah di atas.
=====================================
Referensi:
http://muhlis.files.wordpress.com/2008/03/sejarah-ilmu-kalam.pdf, yang diakses tanggal 14 oktober 2008
http://peziarah.wordpress.com/2007/03/07/pengertian-kalam/, yang diakses tanggal 14 oktober 2008
http://imronfauzi.wordpress.com/2008/06/17/kalam-zaman-klasik/, yang diakses tanggal 12 Oktober 2008
www.lkp2i.org/pdf/MAK/AA.pdf , yang diakses tanggal 14 oktober 2008
Sorry, the comment form is closed at this time.