“Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan tobat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan. Maka ketika mereka digoncang gempa bumi, Musa berkata: “Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah Yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya”.
“Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertobat) kepada Engkau. Allah berfirman: “Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami”. (QS. Al-A’raaf: 155-156)
**
Ada bermacam-macam riwayat mengenai sebab ditetapkannya waktu untuk bertemu Allah itu. Boleh jadi untuk menyatakan taubat dan memintakan ampunan bagi Bani Israil dari kekufuran dan dosa-dosa yang telah mereka lakukan.
Di dalam surah Al-Baqarah, diterangkan bahwa penebusan dosa yang diwajibkan atas Bani Israil itu adalah dengan membunuh diri mereka. Caranya, orang yang taat membunuh orang yang telah berbuat maksiat. Hal itu mereka lakukan sehingga Allah mengizinkan mereka untuk menghentikannya dan diterima-Nya kafarat mereka.
Ketujuh puluh orang ini adalah tokoh-tokoh dan orang-orang baik mereka, atau sebagai perwakilan mereka. Maka, redaksi kalimat, “Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan taubat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan,” menjadikan mereka sebagai pengganti (mewakili) Bani Israil secara keseluruhan.
Di samping itu, apakah yang pernah terjadi pada orang-orang pilihan ini? Mereka pernah ditimpa peristiwa dengan suara yang menggelegar (gempa atau petir) hingga pingsan. Pasalnya, mereka sebagaimana diceritakan dalam surah lain, meminta kepada Musa agar mereka dapat melihat Allah secara transparan. Dengan demikian, mereka dapat membenarkan Musa mengenai kewajiban-kewajiban yang dibawanya dalam alwah ‘kepingan-kepingan papan’.
Peristiwa ini menjadi saksi mengenai karakter Bani Israil yang meliputi orang baik-baik mereka dan orang-orang yang jahat. Tidak ada perbedaan di antara mereka dalam hal ini kecuali sedikit saja. Dan yang sangat mengherankan ialah mereka mengucapkan perkataan ini (minta dapat melihat Allah secara transparan) padahal mereka dalam suasana sedang menjalankan pertaubatan dan meminta ampun.
Musa a.s. menghadapkan diri kepada Tuhannya, merajuk kepada-Nya, meminta ampunan dan rahmat, menyatakan ketundukan dan mengakui kekuasaan Allah.
“…Maka ketika mereka digoncang gempa bumi, Musa berkata, ‘Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini….”
Ini adalah penyerahan mutlak kepada kekuasaan yang mutlak sebelum dan sesudah semua itu. Musa menyatakan hal ini sebelum menyampaikan permohonan kepada Tuhannya supaya meredakan kemurkaan-Nya dari kaumnya.
Permohonannya dimaksudkan agar menjauhkan mereka dari cobaan, dan tidak membinasakan mereka karena tindakan orang-orang yang kurang akal di antara mereka.
“…Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami….?”
Harapan ini dikemukakan dengan kalimat tanya, untuk mengintensitaskan permohonannya agar dijauhkan dari kebinasaan. Yakni, “Ya Tuhan, sesungguhnya jauh sekali rahmat-Mu hingga menyebabkan Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami.”
“…..Itu hanyalah cobaan dari-Mu. Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki……”
Musa a.s. menyatakan pengetahuannya terhadap sifat sesuatu yang terjadi itu. Ia mengerti bahwa itu adalah cobaan dan ujian belaka. Maka, Musa tidak pernah lupa kepada kehendak dan perbuatan Tuhannya sebagai halnya orang-orang yang lalai.
Inilah kondisi setiap cobaan. Yaitu, Allah memberi petunjuk dengannya kepada orang-orang yang mengerti tabiat peristiwa itu. Juga yang mengetahui bahwa itu adalah cobaan dan ujian dari Tuhan mereka yang harus mereka lalui dengan sehat dan penuh pengertian.
Allah sesatkan dengan cobaan itu orang-orang yang tidak mengerti hakikat ini. Juga yang melewatinya dengan begitu saja, dan keluar darinya dalam keadaan tersesat.
Musa a.s. menyampaikan prinsip sebagai pengantar untuk memohon pertolongan kepada Allah di dalam mengarungi ujian ini.
“….Engkaulah yang memimpin kami………”
Karena itu, berikanlah bantuan dan pertolongan-Mu kepada kami untuk menghadapi ujian-Mu ini serta mendapatkan ampunan dan rahmat-Mu.
“…Maka, ampunilah kami dan berilah kami rahmat, dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya….” (QS. Al-A’raaf: 155)
“….Tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat. Sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada-Mu…” (QS. Al-A’raaf: 156)
Kami kembali kepada-Mu, kami berlindung di bawah perlindungan-Mu, dan kami memohon pertolongan-Mu.
Demikianlah Musa a.s. mengajukan permohonan ampunan dan rahmat, dengan menyerahkan diri kepada Allah dan mengakui hikmah cobaan-Nya. Dia mengakhiri permohonannya dengan menyatakan kembali kepada Allah dan berlindung di bawah lindungan-Nya.
Maka, doa Musa ini merupakan contoh mengenai adab atau sopan santun seorang hamba yang saleh kepada Tuhan Yang Mahamulia. Juga merupakan contoh adab bagaimana memulai dan mengakhiri doa.
Kemudian datanglah jawaban kepada Musa.
“…Allah berfirman, ‘Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu….”
Suatu ketetapan tentang kehendak yang mutlak, yang membuat peraturan secara bebas dan memberlakukannya secara bebas, meskipun tidak memberlakukannya kecuali dengan adil dan benar. Itu pun dengan kehendak-Nya pula.
Karena, adil merupakan salah satu sifat Allah Yang Mahaluhur. Sifat itu tidak pernah berganti di dalam menjalankan semua kehendak-Nya, karena demikianlah yang dikehendaki-Nya. Maka, siksaan itu akan ditimpakan kepada orang yang menurut-Nya layak mendapatkan siksa. Dengan demikian, berlakulan kehendak-Nya.
Ada pun rahmat-Nya, maka ia meliputi segala sesuatu. Mengenai orang yang menurut-Nya layak mendapatkannya, maka berlaku pulalah kehendak-Nya. Tidak pernah dan tidak akan pernah kehendak Allah menimpakan azab atau memberikan rahmat secara kebetulan. Mahasuci dan Mahatinggi Allah setinggi-tingginya dari yang demikian itu.
Continue reading »