Malu, Akar Semua Kebaikan

 Islami  Comments Off on Malu, Akar Semua Kebaikan
May 132011
 

Maraknya KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) dan segala macam pelanggaran hukum—baik hukum Tuhan maupun manusia—di negeri ini, tak lepas dari hilangnya budaya malu.

Manusia tak segan lagi melakukan penyelewengan dan melanggar larangan Allah. Mereka tenggelam dalam kubangan maksiat karena rasa malu dalam jiwanya telah tercerabut.

Benarlah perkataan para nabi terdahulu, “Jika kamu tidak memiliki rasa malu, maka berbuatlah semaumu!”

Akhirnya penguasa berbuat semaunya dalam mengangkangi rakyatnya, pun rakyat berbuat semaunya dalam menjerumuskan sesamanya.

Ibnul Qayyim al-Jauziyah, dalam al-Jawab al-Kafi Liman Sa’ala an-Dawa’ as-Syafi mengatakan, rasa malu adalah akar dari segala kebaikan. Jika hilang, maka hilanglah segala kebaikan.

Continue reading »

Tawadhu

 Islami  Comments Off on Tawadhu
May 132011
 

Allah Maha Mulia dan menghendaki agar hamba-hamba-Nya menjadi orang-orang yang mulia, bahwa luasnya kemuliaan mereka tidak merasa lebih tinggi di atas saudara-saudara mereka. Maka saat itu ia merasa bangga terhadap diri sendiri, merasa di atas yang lain, dan merendahkan kedudukan mereka. Dan Allah memberi karunia kepada hamba-hamba-Nya dengan memberi petunjuk untuk beriman. Maka jika mereka enggan dan memilih kesesatan, maka Dia Maha Kuasa mengganti mereka dengan satu kaum yang mulia dengan iman mereka dan merendahkan diri terhadap saudara-saudara mereka.

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela….” (QS. al-Ma`idah:54)

Maka inilah sifat lemah-lembut terhadap orang-orang beriman yang merupakan sifat orang-orang terpilih untuk membawa agama ini, saat murtadnya orang-orang yang murtad darinya. Ayat di atas maksudnya santun kepada orang-orang beriman, kasih sayang dan lemah lembut terhadap mereka dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir dan memusuhi mereka. Ibnu Abbas berkata: ‘Sikap mereka terhadap orang-orang beriman seperti seorang ayah terhadap anak dan majikan terhadap budak, dan sikap mereka terhadap orang-orang kafir seperti binatang buas terhadap mangsanya. Firman Allah, “(Mereka) keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka… (QS. al-Fath:29)”. Mulia adalah sifat yang terpuji, sedangkan sombong terhadap orang lain dan membanggakan diri (‘ujub) adalah sifat tercela. Allah berfirman, “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya…. (QS. Fathir:10)”. Dan sesungguhnya Allah memuliakan wali-wali-Nya dengannya, sekalipun mereka berada di puncak cobaan (musibah,bala). “Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mu’min, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui. (QS. al-Munafiqun:8)”
Continue reading »

Dua Sisi Kehidupan

 Islami  Comments Off on Dua Sisi Kehidupan
May 132011
 

Segala hal dalam kehidupan adalah sebuah keniscayaan ketika ia berpasang-pasangan. Ada baik, ada buruk. Ada besar, ada kecil. Ada cepat, ada lambat. Semuanya Allah ciptakan sedemikian rupa sehingga ia berpasang-pasangan. Segalanya tentu terjadi dalam kesetimbangan dan keseimbangan. Dan adalah kehendak Allah yang menciptakan semuanya seperti demikian.

Pada manusia, pun terjadi demikian. Ianya pun diciptakan berpasang-pasangan. Berpasangan dari segi jenis, sifat, perilaku, karakter, dan sebagainya. Dan itu tersebar ke seluruh manusia di dunia ini. Hal ini pun terjadi pada individu manusia. Ia memiliki dua potensi dalam kehidupannya. Ia memiliki dua sisi kehidupan. Dua sisi kehidupan ini ibarat seperti dua sisi koin. Sisi yang satu akan senantiasa menutupi yang lain ketika sisi yang satu tampak, begitu pula sebaliknya. Begitu pula dengan manusia, ia memiliki dua potensi. Potensi kebaikan dan potensi keburukan.

Sebagaimana telah Allah firmankan dalam surah Asy-Syams ayat 8 yang berbunyi “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” Jadi sejatinya tiap-tiap diri itu sudah memiliki dua potensi dalam dirinya. Potensi tersebut adalah kefasikan atau hal-hal yang identik dengan keburukan dan juga potensi ketakwaan yang identik dengan kebaikan dan segala sesuatu yang diridhoi oleh-Nya.

Continue reading »

Sejarah dan Catatan Nabi-Nabi Palsu

 Islami  Comments Off on Sejarah dan Catatan Nabi-Nabi Palsu
May 132011
 

DALAM akidah Islam, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) adalah penutup para nabi. Ini sesuai dengan firman-Nya: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al Ahzab [33]: 40). Sementara Islam, ajaran yang dibawa Muhammad SAW merupakan dien yang telah disempurnakan.

Namun, masih ada saja manusia yang mengaku sebagai nabi yang diutus Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) setelah Muhammad SAW untuk menyempurnakan ajaran-Nya. Bahkan, sebelum Muhammad SAW wafat pun sudah ada yang mengaku sebagai nabi. Jumlah mereka banyak. Berikut di antara para nabi palsu itu.

1. Musailamah al-Kazzab dan Sajjah Binti al-Harits

Musailamah mengaku nabi saat Rasulullah SAW masih hidup. Ia dari Bani Hanifah di Yamamah. Istrinya, Sajjah binti al-Harits dari Bani Tamim, juga mengaku sebagai nabi yang menerima wahyu dari Allah SWT untuk disampaikan kepada umat.

Dalam riwayat, saat mempersunting Sajjah, Musailamah memberikan mas kawin berupa cuti shalat Ashar kepada keluarga Sajjah. Tentu saja saat itu seluruh Bani Tamim libur shalat Ashar.

Setelah Rasulullah SAW wafat, mereka semakin leluasa dalam menyebarkan pemahamannya. Khalifah Abu Bakar Assidiq tidak tinggal diam. Abu Bakar beserta kaum Muslimin mengajak mereka dan pengikutnya kembali ke jalan yang lurus. Tapi, ajakan itu ditolak.

Abu Bakar mengerahkan kaum Muslimin untuk memerangi mereka. Dalam perang Yarmuk, Kaum Muslimin bentrok dengan pasukan Musailamah dan Musailamah berhasil dibunuh oleh Wahsyi bin Harb. Sedang Sajjah diakhir hayatnya bertaubat dan kembali ke pelukan Islam.
Continue reading »

Musa dan Tujuh Puluh Orang dari Kaumnya

 Islami  Comments Off on Musa dan Tujuh Puluh Orang dari Kaumnya
May 122011
 

“Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan tobat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan. Maka ketika mereka digoncang gempa bumi, Musa berkata: “Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah Yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya”.

“Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertobat) kepada Engkau. Allah berfirman: “Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami”. (QS. Al-A’raaf: 155-156)

**

Ada bermacam-macam riwayat mengenai sebab ditetapkannya waktu untuk bertemu Allah itu. Boleh jadi untuk menyatakan taubat dan memintakan ampunan bagi Bani Israil dari kekufuran dan dosa-dosa yang telah mereka lakukan.

Di dalam surah Al-Baqarah, diterangkan bahwa penebusan dosa yang diwajibkan atas Bani Israil itu adalah dengan membunuh diri mereka. Caranya, orang yang taat membunuh orang yang telah berbuat maksiat. Hal itu mereka lakukan sehingga Allah mengizinkan mereka untuk menghentikannya dan diterima-Nya kafarat mereka.

Ketujuh puluh orang ini adalah tokoh-tokoh dan orang-orang baik mereka, atau sebagai perwakilan mereka. Maka, redaksi kalimat, “Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan taubat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan,” menjadikan mereka sebagai pengganti (mewakili) Bani Israil secara keseluruhan.

Di samping itu, apakah yang pernah terjadi pada orang-orang pilihan ini? Mereka pernah ditimpa peristiwa dengan suara yang menggelegar (gempa atau petir) hingga pingsan. Pasalnya, mereka sebagaimana diceritakan dalam surah lain, meminta kepada Musa agar mereka dapat melihat Allah secara transparan. Dengan demikian, mereka dapat membenarkan Musa mengenai kewajiban-kewajiban yang dibawanya dalam alwah ‘kepingan-kepingan papan’.

Peristiwa ini menjadi saksi mengenai karakter Bani Israil yang meliputi orang baik-baik mereka dan orang-orang yang jahat. Tidak ada perbedaan di antara mereka dalam hal ini kecuali sedikit saja. Dan yang sangat mengherankan ialah mereka mengucapkan perkataan ini (minta dapat melihat Allah secara transparan) padahal mereka dalam suasana sedang menjalankan pertaubatan dan meminta ampun.

Musa a.s. menghadapkan diri kepada Tuhannya, merajuk kepada-Nya, meminta ampunan dan rahmat, menyatakan ketundukan dan mengakui kekuasaan Allah.

“…Maka ketika mereka digoncang gempa bumi, Musa berkata, ‘Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini….”

Ini adalah penyerahan mutlak kepada kekuasaan yang mutlak sebelum dan sesudah semua itu. Musa menyatakan hal ini sebelum menyampaikan permohonan kepada Tuhannya supaya meredakan kemurkaan-Nya dari kaumnya.

Permohonannya dimaksudkan agar menjauhkan mereka dari cobaan, dan tidak membinasakan mereka karena tindakan orang-orang yang kurang akal di antara mereka.

“…Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami….?”

Harapan ini dikemukakan dengan kalimat tanya, untuk mengintensitaskan permohonannya agar dijauhkan dari kebinasaan. Yakni, “Ya Tuhan, sesungguhnya jauh sekali rahmat-Mu hingga menyebabkan Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami.”

“…..Itu hanyalah cobaan dari-Mu. Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki……”

Musa a.s. menyatakan pengetahuannya terhadap sifat sesuatu yang terjadi itu. Ia mengerti bahwa itu adalah cobaan dan ujian belaka. Maka, Musa tidak pernah lupa kepada kehendak dan perbuatan Tuhannya sebagai halnya orang-orang yang lalai.

Inilah kondisi setiap cobaan. Yaitu, Allah memberi petunjuk dengannya kepada orang-orang yang mengerti tabiat peristiwa itu. Juga yang mengetahui bahwa itu adalah cobaan dan ujian dari Tuhan mereka yang harus mereka lalui dengan sehat dan penuh pengertian.

Allah sesatkan dengan cobaan itu orang-orang yang tidak mengerti hakikat ini. Juga yang melewatinya dengan begitu saja, dan keluar darinya dalam keadaan tersesat.

Musa a.s. menyampaikan prinsip sebagai pengantar untuk memohon pertolongan kepada Allah di dalam mengarungi ujian ini.

“….Engkaulah yang memimpin kami………”

Karena itu, berikanlah bantuan dan pertolongan-Mu kepada kami untuk menghadapi ujian-Mu ini serta mendapatkan ampunan dan rahmat-Mu.

“…Maka, ampunilah kami dan berilah kami rahmat, dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya….” (QS. Al-A’raaf: 155)

“….Tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat. Sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada-Mu…” (QS. Al-A’raaf: 156)

Kami kembali kepada-Mu, kami berlindung di bawah perlindungan-Mu, dan kami memohon pertolongan-Mu.

Demikianlah Musa a.s. mengajukan permohonan ampunan dan rahmat, dengan menyerahkan diri kepada Allah dan mengakui hikmah cobaan-Nya. Dia mengakhiri permohonannya dengan menyatakan kembali kepada Allah dan berlindung di bawah lindungan-Nya.

Maka, doa Musa ini merupakan contoh mengenai adab atau sopan santun seorang hamba yang saleh kepada Tuhan Yang Mahamulia. Juga merupakan contoh adab bagaimana memulai dan mengakhiri doa.

Kemudian datanglah jawaban kepada Musa.

“…Allah berfirman, ‘Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu….”

Suatu ketetapan tentang kehendak yang mutlak, yang membuat peraturan secara bebas dan memberlakukannya secara bebas, meskipun tidak memberlakukannya kecuali dengan adil dan benar. Itu pun dengan kehendak-Nya pula.

Karena, adil merupakan salah satu sifat Allah Yang Mahaluhur. Sifat itu tidak pernah berganti di dalam menjalankan semua kehendak-Nya, karena demikianlah yang dikehendaki-Nya. Maka, siksaan itu akan ditimpakan kepada orang yang menurut-Nya layak mendapatkan siksa. Dengan demikian, berlakulan kehendak-Nya.

Ada pun rahmat-Nya, maka ia meliputi segala sesuatu. Mengenai orang yang menurut-Nya layak mendapatkannya, maka berlaku pulalah kehendak-Nya. Tidak pernah dan tidak akan pernah kehendak Allah menimpakan azab atau memberikan rahmat secara kebetulan. Mahasuci dan Mahatinggi Allah setinggi-tingginya dari yang demikian itu.

Continue reading »