Segala hal dalam kehidupan adalah sebuah keniscayaan ketika ia berpasang-pasangan. Ada baik, ada buruk. Ada besar, ada kecil. Ada cepat, ada lambat. Semuanya Allah ciptakan sedemikian rupa sehingga ia berpasang-pasangan. Segalanya tentu terjadi dalam kesetimbangan dan keseimbangan. Dan adalah kehendak Allah yang menciptakan semuanya seperti demikian.
Sebagaimana telah Allah firmankan dalam surah Asy-Syams ayat 8 yang berbunyi “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” Jadi sejatinya tiap-tiap diri itu sudah memiliki dua potensi dalam dirinya. Potensi tersebut adalah kefasikan atau hal-hal yang identik dengan keburukan dan juga potensi ketakwaan yang identik dengan kebaikan dan segala sesuatu yang diridhoi oleh-Nya.
Kedua potensi yang ada pada manusia ini muncul dari satu sumber yang sama. Potensi kefasikan maupun juga potensi ketakwaan berasal dari hati yang berlanjut pada pembentukan hawa nafsu pada manusia. Hati yang tidak diberikan asupan illahiyah maka cenderung akan mengeras dan berimplikasi pada pembentukan hawa nafsu yang mendorong manusia pada kefasikan. Hal sebaliknya terjadi ketika hati secara simultan diberikan asupan illahiyah yang membuat hati begitu penuh dengan bunga-bunga ukhrowi sehingga mudah baginya untuk bergetar sebagai penanda iman. Dan dari hati yang penuh iman tadi mendorong munculnya hawa nafsu positif yang berimplikasi pada potensi kebaikan yang tertampakkan.
Dua sisi juga tersimpan pada tiap apa-apa yang kemudian terjadi dalam kehidupan manusia. Setiap segala sesuatu kejadian yang bersinggungan dengan kehidupan manusia maka ianya pasti memiliki dua sisi pemaknaan. Ianya berbeda mengikuti dari segi mana seseorang melihat suatu kejadian atau peristiwa yang bersinggungan dengan manusia. Ada beberapa dari manusia yang terus menerus melihat segala sesuatu dari kecacatannya. Mencari kekurangan untuk sekedar diketahui atau bahkan disebarluaskan sisi-sisi kekurangan menurut dirinya itu. Sehingga yang tergambar dari seseorang ini hanyalah pikiran negatif dan pastinya ia akan kelelahan karena terus meladeni kekurangan-kekurangan yang ada pada suatu kejadian. Berbeda halnya ketika seseorang mampu untuk dapat melihat lebih mendalam akan suatu kejadian atau peristiwa. Maka sejatinya ia akan menemukan pemaknaan yang didasarkan pada kepekaan bashiroh sehingga dapat melihat jauh kedepan dan lebih dewasa. Bagi seseorang yang mampu memanfaatkan kepekaan bashiroh-nya dalam melihat segala sesuatu maka ia akan mudah untuk berlaku bijak dan adil dalam menanggapi kejadian atau peristiwa tersebut. Maka yang timbul adalah pikiran-pikiran positif yang membangun.
Sebagai contoh, tatkala seorang nelayan yang dalam keterbiasaan hidupnya mengais nafkah dengan mencari ikan di laut. Suatu saat si nelayan mendapatkan ketidak-biasaan dengan tidak mendapatkan apa-apa di hari itu. Kecewa, sudah pasti si nelayan kecewa. Adalah wajar sebagai seorang manusia biasa. Akan tetapi perhatikan, sesungguhnya dengan tidak mendapatkan apa-apa bagi si nelayan, membuka sebuah peluang kebaikan. Peluang kebaikan agar si nelayan dapat mengambil pelajaran tentang bab kesabaran dan keikhlasan, ketika si nelayan yakin dan faham bahwasannya segala sesuatunya pasti di bawah iradah-Nya.
Dua sisi adalah sebuah keniscayaan dalam hidup. Dan dari keduanya, manusia memperoleh karakteristik masing-masing. Karena sungguh Allah ta’ala tidak meiciptakan segala sesuatunya tanpa hikmah. Dan patutlah kita mensykuri atas apa-apa yang telah dikaruniakan Allah pada kita. Dan sebagai bentuk kesyukuran kita pada Rabb, sang Maha Pencipta adalah dengan memunculkan potensi positif diri diatas potensi negatif agar kita mampu untuk beribadah kepada-Nya secara optimal. Allahu a’lam.
Oleh : Aqil Wilda Arif
Mahasiswa Teknik Industri UGM 2007
Ketua Jamaah Shalahuddin UGM 1431 H
Sorry, the comment form is closed at this time.