Cerita ini berkisah tentang seseorang muslim yang telah menghabiskan sebagian waktunya selama ia muda untuk belajar ilmu agama. Kisah ini dimulai ketika ia bertemu dengan salah seorang guru spiritualnya di sebuah masjid di kampungnya. Guru ini mengajarkan banyak ilmu kepada pemuda ini. Ia belajar banyak tentang kelompok, jama’ah, firqoh, aqidah, dan berbagai ilmu islam lainnya. Pada suatu hari, pemuda ini bertanya tentang hidup berjama’ah pada gurunya. Yang kemudian dijawab oleh guru tersebut bahwa hidup berjama’ah itu wajib. Karena penasaran terhadap hal ini, sang pemuda pun terus-menerus bertanya seputar hidup berjama’ah. Mungkin, karena guru tersebut menyadari tentang minat si pemuda dalam hal belajar hidup berjama’ah, sang guru berjanji akan mengadakan kajian khusus yang membahas tentang hidup berjama’ah. Waktu itu sang guru menganjurkan untuk membawa sebuah kitab hadist kecil yang seluruh isinya tentang hadist seputar jama’ah. Waktu dan tempat pun ditentukan kemudian kajian ini pun dimulai, sebuah kajian yang dilakukan secara empat mata. Pada suatu hari, sampailah kajian pada sebuah hadist huzhaifah yang terkenal yang berbunyi:
“Dari Huzhaifah bin Al-Yaman berkata, “Manusia biasa bertanya pada Rasulullah saw. tentang kebaikan, sedang aku bertanya kepada beliau tentang kejahatan, karena khawatir akan mengenaiku.” Saya berkata, “Wahai Rasulullah, kami dahulu di masa Jahiliyah dan penuh kejahatan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini (Islam). Apakah setelah kebaikan ini ada lagi keburukan?” Rasul saw. menjawab, ”Ya.” “Apakah setelah keburukan itu ada kebaikan?” Rasul saw. menjawab, ”Ya, tetapi ada polusinya.” “Apa polusinya?” Rasul saw. menjawab, ”Kaum yang mengambil hidayah dengan hidayah yang bukan dariku, engkau kenali dan engkau ingkari.” Saya berkata, ”Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan?” Rasul saw. menjawab, ”Ya, tetapi ada para penyeru ke neraka jahanam; barangsiapa yang menyambut mereka ke neraka, maka mereka melamparkannya ke dalam neraka.” Saya berkata, ”Ya Rasulullah, terangkan ciri mereka pada kami?” Rasul saw. menjawab, ”(Kulit) mereka sama dengan kulit kita, berbicara sesuai bahasa kita.” Saya berkata, ”Apa yang engkau perintahkan padaku jika aku menjumpai hal itu?” Rasul saw. bersabda, ”Komitmen dengan jamaah muslimin dan imamnya.” Saya berkata, ”Jika tidak ada pada mereka jamaah dan imam?” Rasul saw. menjawab, ”Tinggalkan semua firqah itu, walaupun engkau harus menggigit akar pohon sampai menjumpai kematian dan engkau tetap dalam kondisi tersebut.” (Bukhari dan Muslim)”
Ternyata saat pemuda ini menerima hadist tersebut, ada satu ganjalan di hati dia tentang orang yang menjadi penyeru ke neraka jahanam tersebut. kemudian ia bertanya kepada gurunya, dan dijawab oleh gurunya bahwa orang-orang seperti ini juga orang islam, mereka juga hafal ayat al-Qur’an dan beberapa hadist bahkan mereka juga fasih berbahasa arab. Tapi, apa yang mereka sampaikan walaupun disertai ayat dan hadist merupakan sesuatu yang tidak diajarkan bahkan sebuah kesesatan. Mendengar jawaban ini, tentu saja pemuda tadi bingung. “Berdalil dengan hadist dan ayat, tapi sesat?” hal itulah yang mungkin ada di benak pemuda ini saat itu. Melihat wajah muridnya yang terlihat kebingungan ini, sang guru mengatakan “udahlah, mungkin suatu saat nanti kamu akan menemui mereka secara langsung.” kajian pun dilanjutkan ke pembahasan hadist yang selanjutnya. Selama beberapa tahun, pemuda ini masih menyimpan rasa penasarannya terhadap tipe-tipe orang ini. Tiba saatnya bagi dia untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Ke sebuah universitas. Dia pun mengarahkan pandangannya ke sebuah wilayah yang sudah di kenal sebagai kota tempat belajar. Kota dimana kedua kakaknya juga pernah mengenyam pendidikan sebagai mahasiswi di kota itu. Dia mendaftarkan dirinya di universitas negeri yang terdapat di kota itu. Namun Allah berkehendak lain, dia tidak pernah diterima di universitas itu walaupun ia sudah melalui berbagai jalur yang disediakan universitas itu. Saat mengisi formulir seleksi nasional masuk perguruan tinggi ia mengisikan pilihan ketiganya untuk sebuah universitas islam di kota yang sama. Tidak disangka, dia diterima pada pilihannya yang ketiga, pilihan yang ia isikan tanpa pikir panjang. Walaupun jurusan ini merupakan jurusan yang ia sukai, namun universitas ini adalah universitas yang ia anggap sebagai sebuah musuh. Universitas yang ia benci karena citranya yang sudah tersebar di kalangan masyarakat. Setelah melalui pertimbangan yang matang, ia pun memutuskan untuk belajar dan menyelesaikan S1 nya di universitas ini. Ini adalah universitas yang spesial, ia tidak hanya belajar ilmu eksak di dini, tetapi juga ilmu agama.
Namun, ia mulai merasa janggal dengan berbagai ilmu agama yang dia terima. Dia pikir “kenapa dosen ini mengatakan begitu? padahal dari dulu, saya memahami bahwa seharusnya begini…” banyak ilmu-ilmu keagamaan yang ia dapat dari dosen-dosennya yang fasih berbahasa arab ini bertentangan dengan hati nuraninnya, bahkan berbeda atau menyelisihi pendapat-pendapat ulama yang sudah dikenal ke faqihannya dalam agama. Sebagai contoh, mereka mengatakan bahwa isbal boleh, asal tidak sombong. Harta warisan bisa dibagi rata antara perempuan dan laki-laki, wanita boleh menjadi seorang pemimpin, dan berbagai hal lain yang sangat membuat hati pemuda ini gelisah.
Pemuda ini menanyakan fenomena yang dijumpainnya ini kepada salah seorang gurunya. Si guru berpesan kepadanya “Ya emang gitu sekolahmu, kalau dapat sesuatu dari sana, jangan dipikir serius. Jadikan sebagai wawasan saja, yang sabar.”. Ia pun berfikir “mungkin ini hikmah dari ditolaknya saya di universitas yang saya impikan, mungkin Allah menghendaki agar saya bertemu dengan orang-orang yang seperti ini, agar semakin luas wawasan saya tentang islam, bahwa ada pemikiran-pemikiran yang sangat jauh berbeda dari yang saya terima, bahkan kadang bertentangan. Atau mungkin ini adalah orang-orang yang dimaksud dalam hadist Huzhaifah yang dulu itu? mengkin juga ya? mereka fasih berbahasa arab, hafal ayat dan hadist, namun mereka memberikan penafsiran yang berbeda, bahkan bertentangan dengan penafsiran para ulama’. Tapi, saya tidak bisa langsung menghukumi seperti itu. Allah lah yang lebih tau. Tapi yang jelas, ilmu dari mereka hanya saya jadikan sebuah wawasan saja…”
Sorry, the comment form is closed at this time.