Dec 052009
 

Berikut adalah sebuah tulisan yang ditulis oleh saudara kita, Wildan Hasan sebagai tanggapan atas tulisan Ulil A Abdala – “Menjadi Muslim dengan perspektif liberal”.yang saya ambil dari swaramuslim.net. Semoga Allah membalas beliau atas usaha yang telah dia lakukan untuk meng-counter tulisan ulil.kemudian, “Hak cipta dilindungi oleh Allohu Subhanahu wa Ta’ala TIDAK DILARANG KERAS mengcopy, memperbanyak, mengedarkan untuk kemaslahatan ummat syukur Alhamdulillah sumber dari swaramuslim dicantumkan”. Semoga bermanfaat.

==========================

Namanya juga refleksi, tidak usah terlalu dianggap serius apalagi diklaim sebagai kebenaran absolut. Karena dalam kamus Mas Ulil dan kawan2 tidak dikenal istilah kebenaran absolut. Semua kebenaran adalah relatif, termasuk kebenaran versi mereka…harusnya.

Bagaimana ini ko terbolak-balik?
menjadi muslim dengan persfektif liberal, menjadi liberal dengan persfektif muslim, menjadi muslim sekaligus liberal atau menjadi liberal sekaligus muslim? mana nu pokok mana nu cabang, mana nu dasar mana nu tambahan, mana yang ushul mana yang furu’? atau mana yang asli mana yang palsu?

penting mana jadi muslim atau jadi liberal? jadi muslim yang liberal atau jadi liberal yang muslim? apa itu muslim, apa itu liberal?

kita seharusnya sebelum berdiskusi harus terlebih dahulu menetapkan batasa-batasan, kriteria, distingsi dan kategorisasi2 dari kata2 kunci yang kita diskusikan. Agar diskusi tidak jadi liar dan membabi-buta.

Muslim adalah hamba Allah yang bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, menegakkan sholat, membayar zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan haji jika mampu (HR. Bukhari Muslim dari Abdullah bin Umar Ra).

apakah mas Ulil masih minat terhadap hadits ini atau tidak. Atau harus didekonstruksi dulu…

Terus apa arti liberal? Coba tanya apa arti liberal sama mereka. Maka mereka akan sama bingungnya dengan kita. Kenapa? Karena makna ‘liberal’ itu sendiri tidak jelas. Batasan makna liberal tidak dieksplorasi secara mendalam, padahal konsep ‘batas’ dapat merumuskan kriteria, distingsi dan kategorisasi liberal.

Akibat kaburnya batasan itu adalah timbulnya ide ‘tak terbatas’. Hasilnya, paham liberal cenderung dibangun di atas paham relativisme, skeptisisme, dan agnotisisme. Gagasan liberalisme Islam tanpa konsep yang jelas dapat berujung pada gagasan Islam liar yang bersembunyi dibalik jargon kebebasan.

Oleh karena tidak adanya konsep batasan tersebut, maka konsep Islam liberal tersebut menjadi kriteria yang longgar dan kabur. Ketidakjelasan definisi atau deskripsi makna liberal terungkap secara implisit dalam pemikiran Charles Kruzman. Kruzman menggambarkan konsep Islam liberal dengan sesuka hatinya. Karena tidak adanya batasan yang jelas, Kruzman memasukkan nama Yusuf al-Qaradhawi dan M. Natsir sebagai pemikir Islam Liberal. Padahal jelas bahwa karya-karya mereka tidak sesuai untuk disandingkan dengan gagasan Islam liberal yang sumber pemikirannya adalah akal yang skeptis.

Strategi Kruzman dalam memaknai Islam liberal dapat disejajarkan dengan strategi Michel Foucaulst (salah satu tokoh rujukan Islam liberal) ketika memahami makna hewan. Foucaulst, yang meninggal karena penyakit AIDS, mengutip sebuah ensiklopedia Cina tertentu yang mengklasifikasikan binatang sebagai berikut; yang dimiliki kaisar, yang dimumikan, yang jinak, babi-babi yang menyusui, yang merayu betina, yang menakjubkan, anjing-anjing yang sesat, yang termasuk dalam klasifikasi sekarang, yang gila, yang tidak dapat dihitung, yang dilukiskan dengan sikat rambut unta yang cantik, yang telah mematahkan teko air dan yang kelihatan seperti lalat dari kejauhan.

Jadi deskripsi Foucault mengenai makna hewan mencerminkan relativitas. Sama halnya dengan definisi Kruzman mengenai ‘liberal’ dalam menggambarkan makna Islam liberal. Implikasi dari ini semua adalah adanya kekaburan makna. Kebenaran akan menjadi kesesatan dan sebaliknya. Keyakinan akan menjadi keraguan dan sebaliknya. Yang haq akan jadi batil, yang batil jadi haq. Yang yakin dijadikan keraguan dan yang ragu dijadikan keyakinan. Inilah hakikat dari strategi postmodernism.

Mas Ulil di tahun 2001 pernah menegaskan bahwa masa depan hanya pada Islam liberal. Membicarakan masa depan berarti mengukur manfaat wacana bagi peningkatan taraf hidup semua unsur masyarakat. Misalnya, manfaat apa yang dirasakan wong cilik dari perkembangan pemikiran Islam liberal? Dengan demikian, kegiatan pemikiran tidak hanya menjadi kegenitan intelektual belaka yang kegunaannya sebatas untuk kesenangan para aktifis dan pemikirnya. Adakah korelasi Islam liberal dengan pengentasan kemiskinan misalnya? Bukankah mas Ulil dan kawan-kawan (termasuk Rizal Malarangeng) langsung atau tidak termasuk pendukung kebijakan kenaikan harga BBM? Atau mau dibantah, silahkan…

Intinya point paling penting dalam ke-Islaman seseorang adalah meyakini kebenaran yang disampaikan Allah dan Rasulnya tanpa reserve. Harus dipertanyakan ke-Islaman seseorang yang mengaku rajin solat dan puasa tapi tidak meyakini syariat Islam sebagai kebenaran absolute.

Contoh….
Seorang anak berkata kepada ibu kandungnya; “Ibu saya melakukan perintah ibu, tapi maaf saya tidak meyakini ibu sebagai ibu kandung saya”.

Sebab menurut mas Ulil Tuhan itu bukan hanya Allah-nya umat Islam. Padahal di Qur’an dan hadits bertebaran keterangan qot’i yang menegaskan Allah itu ahad tidak boleh didua dan ancaman-ancaman Allah terhadap orang yang mensyarikatkan-Nya.

Bagaimana bisa rela seorang ibu kalau anak kandungnya mau melaksanakan perintahnya, tapi tidak yakin bahwa ibunya itu sebagai ibu kandung satu-satunya bagi dia?..

Dekontruksi makna Islam yang dilakukan oleh mas Ulil dan kawan2 sebenarnya merupakan dekontruksi Islam secara keseluruhan. Jika makna Islam didekonstruksi, maka akan terdekonstruksi juga makna; Kafir, murtad, munafik, al-haq, dakwah, jihad, amar makruf nahi munkar, dan sebagainya. Jika dicermati, dalam berbagai penerbitan di Indonesia , upaya-upaya dekonstruksi istilah-istilah itu bisa dilihat dengan jelas. Bahkan, berlanjut ke konsep-konsep dasar Islam, seperti; wahyu, Al-Qur’an, sunnah, mukjizat dan sebagainya.

Dekonstruksi makna Islam, dan mereduksinya hanya dengan makna “submissiom”, berdampak pada tidak boleh adanya klaim kebenaran (truth claim) pada Islam. Kata mereka, Islam bukan satu-satunya agama yang benar. Ada banyak agama yang benar. Atau “semua agama yang benar” bisa disebut “Islam”. Kebenaran tidak satu, tetapi banyak. Sehingga, orang Islam tidak boleh mengklaim sebagai pemilik agama satu-satunya yang benar.

Tidaklah mengherankan, jika ide dekonstruksi dan reduksi makna Islam, biasanya berjalan beriringan dengan propaganda agar masing-masing pemeluk agama menghilangkan pikiran dan sikap merasa benar sendiri.

Jika orang muslim tidak boleh meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar, dan agama lain salah, lalu untuk apa ada konsep dan lembaga dakwah? Jika seseorang tidak yakin dengan kebenaran agamanya-karena semua kebenaran dianggapnya relatif-maka untuk apa ia berdakwah dan berada dalam organisasi dakwah? Atau makna dakhwah pun harus didekonstruksi agar tidak bertentangan dengan konsep liberal? Kenapa liberal harus mengangkangi dakwah? Dan makna amar makruf nahi munkar didekonstruksi juga?

Pada akhirnya, golongan ‘ragu-ragu’ akan ‘berdakwah’ mengajak orang untuk bersikap ragu juga. Mereka sejatinya telah memilih satu jenis keyakinan baru, bahwa tidak ada agama yang benar atau semuanya benar. Artinya, hakekatnya, ia memilih sikap untuk tidak beragama, atau telah memeluk agama baru, dengan teologi baru, yang disebut sebagai “teoligi semua agama” atau “agama plularisme.”

Cak Nur sendiri menyatakan bahwa sekularisme itu ialah paham yang tidak bertuhan dan sekularisasi merupakan salah satu gagasan penting-kalau tidak disebut sebagai gagasan utama-kelompok Islam liberal. Maka seorang sekuler yang konsekuen dan sempurna adalah seorang ateis. Jika tidak, akan mengalami kepribadian yang pecah.

Sekedar contoh, jika kita dibolehkan memaknai Islam dan syariatnya semau kita yang mungkin saja berdampak pelecehan terhadap agama…

misalnya, salah satu kitab aliran kebatinan di Indonesia , yang bernama “Darmogandul,” dalam salah satu bait Pangkur-nya menyatakan, “Akan tetapi bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas jahat. Ini adalah sesuai dengan dzikir mereka. Mereka menyebut nama Allah, memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, pada hakekatnya mereka itu terasa pahit dan masin.”

Ada lagi ungkapan dalam kitab itu, “Adapun orang yang menyebut nama Muhammad, Rasulullah, nabi terakhir. Ia sesungguhnya melakukan dzikir salah. Muhammad artinya makam atau kubur. Ra-su-lu-lah, artinya rasa yang salah. Oleh karena itu ia itu orang gila, pagi sore berteriak-teriak, dadanya ditekan dengan tangannya, berbisik-bisik, kepala ditaruh di tanah berkali-kali.” (menghina praktek sholat)

Dibagian lain disebutkan, “Saya mengira, hal yang menyebabkan santri sangat benci kepada anjing, tidak sudi memegang badannya atau memakan dagingnya, adalah karena ia suka bersetubuh dengan anjing di waktu malam. Baginya ini adalah halal walaupun tidak pakai nikah. Inilah sebabnya mereka tidak mau makan dagingnya.”

Inti ajaran Darmogandul :
Yang penting dalam Islam bukan sembahyang, tetapi syahadat ‘sarengat’. Dan ‘sarengat’ artinya: hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan. Hubungan seksual itu penting sekali, sehingga empat kiblat juga berarti hubungan seksual.

Darmogandul menafsirkan kata-kata pada ayat kedua dalam surat al-Baqarah sebagai berikut; “zalikal” artinya “jika tidur, kemaluan bangkit,” “kitabu la” artinya “kemaluan laki-laki masuk secara tergesa-gesa ke dalam kemaluan perempuan,” raiba fihi hudan” artinya “perempuan telanjang,” “lil muttaqin” artinya “kemaluan laki-laki berasa dalam kemaluan perempuan.” (Perkembangan kebatinan di Indonesia. Hamka, Bulan Bintang, 1971, hlm 22-23)

Katakan kakalu saja kawan-kawan FPI menuntut pemerintah untuk membubarkan aliran kebatinan seperti ini, maka kalangan Islam liberal dengan jargon kebebasannya akan paling depan membela penistaan agama seperti ini. Sama seperti kasus Ahmadiyah.

Soal buka puasa sebagai tindakan kolektif mah terserah. Itu soal perasaan tidak perlu jadi dalil wajib atau haramnya buka puasa sendirian atau berjama’ah. Kita juga sering ifthor jama’i, malah duluan kita daripada dia…

Pengalaman sosial yang dialami mas Ulil saat buka puasa dan solat tarawih berjama’ah sebagai pengalaman yang paling membekas katanya. lagi-lagi pengalaman pribadi yang masing-masing orang akan merasakannya berbede-beda. Tidak perlu dibuat dramatis lah..

Apa mas Ulil baru tahu bahwa buka puasa bersama dan solat tarawih berjama’ah itu lebih syahdu dan lebih nikmat? Apa baru sekarang bisa merasakan buka puasa dan solat tarawih bersama? Duh…kemarin-kemarin kemana saja bang….

Hehe…lagi-lagi pengalaman sosial, lagi2 pengalaman sosial. Apakah mas Ulil baru mengalami hidup bersosial? Jadi selama ini mas Ulil duduk ekslusif di menara gading merasa paling benar sendiri dengan teologi inklusifnya. Eh…pas turun gunung berbaur dan mau sedikit bertoleransi, hati baru terbuka betapa nikmatnya hidup bermasyarakat.

Padahal kita sudah biasa merasakan nikmatnya hidup bersosial. kaburo maqtan (Ash-Shaf: 3)

Bahasan lain…

Jelas pasti ada di belakang mas Ulil yang berkata, “ kenapa solat dan puasa, bukannya liberal?”

Ini adalah bukti kebingungan dan pecah kepribadian (split personality) kawan2 liberal. Sebab mereka menganggap berbeda dan tidak ada kaitan antara keimanan dengan praktek amaliyah ibadah. Tidak ada kaitan antara aspek esoteris dan eksoteris agama. Bagi mereka solat, puasa, zakat dan haji hanya kulit atau bagian luar dari praktek keberagamaan seseorang dan tidak menentukan posisi keimanan dirinya.

Tapi anehnya mereka suka berdalil atas kasusnya itu: “nih..lihat liberal juga saya masih solat dan puasa,” atau “tuh lihat liberal juga ternyata ‘santun’.” Sengaja kata ‘santun’ diberi tanda petik. Sebab santun menurut siapa, apa batasannya, standar kesantunan itu apa, kriterianya mana, santun yang ini masuk kategori siapa dan yang mana? atau akan direlatifkeun juga….

Ana Istighfar dan taubat jika pernyataan ana ini salah. Ana menyangsikan jika kawan2 liberal ta’at solat dan puasa. Dimana taat sekalipun, nudah-mudahan bukan ta’at seperti Abdullah bin Ubay bin Salul…maaf kalau pernyataan ini tidak ‘santun.’

Ana yakin kita harus dalam posisi mengasihani mereka dalam pencarian kebenaran tanpa ujung, penuh fatamorgana dan kamuflase.

Ada sebuah dialog menarik;

Muslim : “Apakah anda sudah menemukan kebenaran hakiki?’

Liberal : “Belum, karena saya dalam posisi pencari kebenaran”

Muslim : “Lalu kalau diri anda saja belum mendapatkan kebenaran, kenapa anda menyalah-nyalahkan orang lain yang sudah mendapatkan kebenaran dan meyakininya?”

Liberal : “justru ini salah satu cara saya menemukan kebenaran.”

Muslim : “Kalau begitu cara anda salah. Yang namanya mencari kebenaran itu dengan jalan bertanya. Anda belum juga bertanya sudah menggugat kebenaran yang diyakini orang lain. Berarti anda tidak siap untuk belajar. Pantas saja anda tidak pernah menemukan kebenaran. Sebaiknya anda temukan dulu kebenaran yang akan anda yakini kebenarannya. Baru nanti kita ketemu lagi.”

Pada akhirnya liberal tidak pernah datang-datang lagi karena kebenaran hakiki tidak pernah ia dapatkan. Karena bagi dia semua kebenaran adalah relatif, tanpa ujung, tanpa pegangan, dan nyangkut di tempat mana yang paling menguntungkan ke-tuhan-an akal dan hawa nafsunya. Himmatuhum Butunuhum….

Tujuan utama dari JIL penuh tuduhan tak berdasar. Ironisnya sebagai yang meng-klaim berideologi liberal yang mengedepankan toleransi dan kebebasan ternyata tidak toleran dan berstandar ganda. Harusnya mas Ulil juga toleran kepada paham fundamentalis, radikal dan pro kekerasan seperti yang dituduhkannya. Sekalipun cap itu belum tentu benar karena hanya sepihak, tuduhan liar seperti ini akan mengenai siapapun dan apapun. Bahwa tuduhan seperti inipun termasuk kekerasan verbal yang sangat ditentang oleh mas Ulil.

Soal bajak membajak Islam. Menurut ana jangan sampai tamiang meulit ka bitis, bumerang buat si penuduh. Bicara membela Islam tapi….

Begitulah mereka yang anti “truth claim”. Namun karena merasa paling benar (padahal mereka anti terhadap klaim merasa paling benar) dengan pemahamannya itu, akhirnya membabi buta aktif menyalahkan-nyalahkan yang lain. Benar-benar sudah jauh menyimpang dari filosofi liberalisme yang diagung-agungkannya.

Bukankah mereka sendiri yang menyatakan bahwa keyakinan dan pemahaman seseorang tidak bisa dihakimi? Lalu kenapa mereka dengan mudahnya menghakimi pemahaman dan keyakinan orang lain? Yang fair dong…

tidak akan cukup singkat saja membahas tujuan kedua JIL yang disebat rasional, kontekstual, humanis dan pluralis. Kembali ke soal konsep batas, kalau konsep batas tetap tidak dipakai maka tetap akan jadi debat kusir. Tapi itulah liberal.

Saat mas Ulil mengatakan “di mata saya dan kawan-kawan” Jelas pandangannya sangat subyektif. Artinya harus dianggap biasa pernyataannya tidak ada implikasi dan konsekeunsi apapun. Karena sepihak. Mengatakan “di mata saya” “menurut saya” sebenarnya hal yang ketat dihindari oleh mas Ulil dan kawan-kawan. Tapi kenapa begitu, ya itulah liberal.

Mereka anti disesatkan dan dikafirkan. Maka agar fair sebagaimana yang selalu mereka dengung-dengungkan, jangan pula menyebut yang lain konservatif, Arabis, kolot, kuno, fundamentalis, radikal dan pro kekerasan. Sekalipun makna masing-masingnya belum tentu berkonotasi negatif.

Lagi-lagi tuduhan ieu teh, soal teks dan konteks. Persoalan pengelolaan Negara yang harus dicontoh mentah-mentah atau mateng-mateng dari Rasulullah perlu pembahasan yang panjang dan mendalam….

Insya Allah mudah-mudahan terbahas di diskusi “Posisi Syariat Islam dalam Sistem Konstitusi Indonesia / Posisi konstitusi Indonesia dalam pandangan Syariat Islam” Ba’da lebaran tgl 04 Oktober di Pasantren PERSIS Majalengka biidznillah.

Persoalan yang digugat oleh mas Ulil bukan persoalan ibadah mahdoh dan goer mahdoh. Tapi persoalan bagaimana cara pandang seseorang memakai cara pandang Islam itu sendiri atau tidak. Islam menurut siapa? Ini biasanya pertanyaan yang akan dilontarkan oleh mereka. Mendingan mana penilaian terhadap seorang anak, obyektif menurut ibunya atau tetangganya? Memahami Islam tentu harus dari orang yang pakar tentang Islam dan hidup dalam kehidupan Islam. Bukan dari non muslim yang hidup tidak mengenal Islam. Sekalipun ada beberapa kebaikan yang juga harus diambil dari mereka seperti sains dan teknologi dsb.

Khilafiyah antara khutbah jum’at berbahasa Arab dan berbahasa lokal tidak bisa disebutkan sebagai pertentangan antara yang konsevatif dengan yang liberal. Ini dinamakan pengaburan untuk pengelabuan makna. Harusnya gentle saja tidak perlu ditutup-tutupi, kan katanya yakin benar dengan aqidah liberal. Ko yakin ditutup-tutupi, apa ada yang salah? Kayaknya tidak begitu deh penerapan makna liberal yang selama ini mas Ulil lakukan? Kenapa agar istilah liberal diterima oleh kaum Muslimin kemudian persoalan khilafiyah umat diseret-seret? Apa tidak ada cara lain….

Dalam kasus khutbah jum’at dan sholat memakai bahasa apa. Mas Ulil justru mencoba mengomentari apa yang bukan wilayahnya. Hingga liar main comot untuk menjustifikasi pemahaman liberalnya. Dalam sejarah Islam para ulama Islam sepakat bahwa bahasa sholat adalah bahasa Arab. Tidak pernah dikenal di bagian manapun dalam sejarah Islam ada Ulama-bukan ulama-ulamaan-yang sholat menggunakan bahasa selain Arab. Kecuali sekarang ‘intelektual-intelektual’ genit korban perasaan inferior terhadap peradaban lain. Kalau anda berpendapat seperti itu berdasar ijtihad Abu Hanifah. Ketahuilah bahwa Abu Hanifah tidak pernah berpendapat demikian. Anda suka sekali mengambil pandangan-pandangan yang tidak sharih dan mutawatir.

Kalau mas Ulil menyatakan bahwa sholat menempati kedudukan yang penting dalam pemahaman Islam liberalnya, itu hak beliau beranggapan seperti itu. Namun kemudian kalau sholatnya tanpa disertai dengan keyakinan akan kebenaran seluruh syariat Allah bahwa hanya ada satu tuhan Allah swt dan hanya Islam agama yang benar dan memilah-milah mana syariat yang cocok dan tidak, mana yang disuka dan tidak buat dirinya, jelas sama saja dengan tidak sholat. Percuma saja sholat jungkel jumpalik ari teu percaya ka Dzat anu marentahkeunana sebagai Kholik satu-satunya, sebagai Syari’ dengan syariat yang tidak ada bandingnya.

Pembicaraan mas Ulil kemudian mengarah untuk mengajak pembaca berpandangan bahwa orang yang berseberangan dengan beliau tidak rasional dan konsevatif. Cukup jelas mas Ulil yang senantiasa mendorong untuk membudayakan dialog tidak cukup mampu berdialog dengan paham yang berseberangan dengannya. Karena tuduhan seperti ‘budak’ yang taat tanpa berpikir pada sebuah perintah adalah absurd.

Bukankah dengan adanya tafsir Qur’an dan syarah hadits yang disusun oleh para ulama yang tidak diragukan kompetensinya adalah bukti dari buah proses berpikir manusia untuk memahami perintah Tuhannya? Yang membedakan adalah motif dari cara berpikir untuk memahami perintah Tuhan. Yang satu untuk ketaatan yang satu untuk pengingkaran.

Yang aneh kenapa mas Ulil bisa tidak tahu bahwa dalam sejarah Islam pemahaman seperti yang dipermasalahkan mas Ulil adalah hal yang biasa didiskusikan dan dibicarakan oleh kalangan ‘konsevatif’. Bukan seperti persangkaannya bahwa umat Islam buta terhadap syariat mana yang ta’abbudi mana yang ta’aqquli.

Ujungnya arah tulisan mas Ulil semakin jelas dalam rangka menegaskan posisi akal dalam Islam versi liberal. Soal mengikuti dan merawat tradisi, tradisi yang mana dan seperti apa yang dimaksud? Lalu QS 26:74 itu anda arahkan kepada siapa? Kepada yang pemahamannya konservatif atau justru kepada yang pemahamannya progresif? Bukankah anda berdalil dan berdalih seperti ini atas tradisi yang diwariskan guru-guru anda seperti Harvey Cox, Robert N. Bellah, Michel Foucaulst dll?

Anda menjaga tradisi pemahaman seperti itu apakah juga bisa dipastikan tidak membabi buta? Apakah anda juga berpikir kritis terhadap pemikiran guru-guru anda? Toh ujung-ujungnya anda meng-klaim ada akar historis antara anda dan kawan-kawan dengan pemikiran kaum muktazilah. Bukankah itu juga berarti anda merawat tradisi? Tradisi muktazilah. Sekalipun sebenarnya Muktazilah tidak se-liar anda dan kawan-kawan.

Ana sepakat kita harus berpikir kritis dalam memahami perintah Tuhan. Namun dalam makna seperti apa? Apakah mengkritisi perintah Tuhan atau mengkritisi akal kita dalam memahami perintah Tuhan? Jangan sampai ketika akal kita belum mampu memahami perintah Tuhan lalu dipaksa agar seolah-olah nampak paham atau memaksakan menyeret perintah Tuhan ke arah standar pemahamannya sendiri. Jadi Tuhan yang maha kuasa dipaksa mengikuti kehendak hambanya.

Salah satu dalil JIL memang memahami syariat dengan persfektif tekstual dan kontekstual (metode ini juga sebenarnya dipakai oleh golongan yang dituduh konsevatif oleh mas Ulil namun dengan metode berbeda). Kasus pengharaman perempuan duduk di parlemen memang harus diperdalam status hukumnya. Tapi apakah benar persis seperti itu kenyataannya di sana ? Apakah juga hanya atas dasar hadits tersebut saja para ulama di sana memfatwakan demikian?

Soal hukum potong tangan. Jika mas Ulil mengajukan banyak pertanyaan, maka Ana oge ingin mengajukan beberapa pertanyaan:

1.Kenapa anda tidak toleran terhadap orang yang berpandangan bahwa hukum potong tangan adalah bentuk hukuman yang relevan untuk saat ini? Toh jika itu kemudian disepakati umum dan diatur oleh Negara itu adalah konstitusional. Kenapa anda tidak biarkan alamiah saja sebagaimana hukum penjara yang warisan kolonial tidak anda ganggu gugat.

2.Apakah jika teknik hukum pidana pencurian bersifat dinamis lalu ada kolerasinya dengan manusia yang makin beradab dan makin matang mentalnya saat ini? Tidakkah anda melihat betapa jauh lebih biadabnya perilaku manusia saat ini? Itukah bentuk manusia yang mentalnya matang? Coba anda bandingkan dengan jujur efektifitas hukum potong tangan dengan hukum penjara katakan (yang mungkin anda anggap dinamis dan kontekstual) di negara-negara yang menerapkannya.

3.Entah anda tahu atau tidak bahwa hukum potong tangan dalam Islam tidak dilakukan begitu saja. Diatur sedemikian rupa sesuai dengan asas-asas keadilan dan hak-hak kemanusiaan. Apakah yang tergambar dalam benak anda orang mencuri lalu langsung dipotong pakai golok si Pitung begitu? Prosesnya tetap melalui pengadilan akhi, harus ada saksi, bukti, laporan dsb. Kadar pencurian juga menjadi pertimbangan, apakah dia miskin atau tidak, terpaksa atau tidak, dalam keadaan sadar atau tidak dsb jadi sangat adil dan manusiawi.

4.Coba anda bandingkan kembali dari sisi efesiensi dan efektifitas lebih dinamis mana lebih berefek mana antara hukum potong tangan dengan hukum penjara (sekalipun di negara-negara yang memberlakukan hukum potong tangan terdapat pula hukum penjara). Coba anda teliti ulang dalam sejarah Islam dan sejarah Yahudi-Kristen Barat atau sejarah manusia ‘modern’ saat ini, pencurian lebih banyak terjadi dalam sejarah yang mana? Mudah-mudahan anda jujur. Kejahatan, pembunuhan, pemusnahan sumber daya alam, perusakan dan pemerkosaan yang sangat dahsyat terjadi di peradaban yang mana? Sebaiknya anda membaca tulisan Syafii Ma’arif (sesepuh anda dan kawan-kawan) di kolom Resonansi Republika (26/08).

5.Justru anda tidak paham esensi penghukuman. Cara menghukum jelas sangat berkaitan dengan esensi penghukuman. Tolong anda jelaskan apa esensi penghukuman dengan jalan pemenjaraan? Berapa banyak cost sosial, materi dan waktu yang harus dikeluarkan dengan hukum penjara dibandingkan dengan potong tangan? Saya pikir anda hanya sibuk menambah PR umat ketimbang membantu menjawab PR-PR yang sudah ada. Atau bahkan anda sendiri adalah PR besar umat saat ini.

Tradisi mas Ulil dan kawan-kawan adalah suka bermain-main di wilayah esoterik. Memutar-mutar logika agar kelihatan ilmiah sudah menjadi ritual yang niscaya. Termasuk soal ‘ibadah murni’-memangnya ada ibadah yang tidak murni? Murni dalam makna apa? PR lagi…

Cara ibadah buat mereka bukan hal penting karena hanya bersifat eksoterik (kulit/cangkang) saja. Tidak substansial cenah. Mereka cenderung tidak menyukai hal-hal yang bersifat formalistik. Dalam Islam tidak ada pemisahan esoterik dan eksoterik. Keduanya seperti dua sisi dari satu mata uang yang sama, berjalin berkelindan tidak dapat dipisahkan. Dua-duanya adalah bagian penting dalam Islam, tidak ada esoterik tanpa eksoterik begitu pula sebaliknya.

Bukankah dalam Islam ada dua syarat diterimanya ibadah oleh Allah swt; pertama harus ikhlas lillahi ta’ala. Entah apakah yang dimaksud dengan penghayatan spiritual menurut mas Ulil teh ikhlas tea kitu? Dan harus showab tata caranya harus sesuai dengan contoh Rasulullah saw. Mas Ulil juga sepakat bahwa hal ini tidak dapat diganggu gugat. Tapi kenapa mas Ulil menyebut tata cara ibadah tidak penting?

Hehe…mas Ulil teks Arab definisi agama masih hafal ya. Husnudzan ah, pasti mas Ulil tidak menghafal lagi.

Pengembangan spiritualitas seperti apa yang dimaksud mas Ulil untuk kebahagiaan ukhrawi teh? Standarnya apa? Ups lupa, bukannya buat mas Ulil tidak ada standar. Metodenya seperti apa, spiritualitas yang mana dan seperti apa? Terus fungsi agama untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan sepertia apa, yang mana, kata siapa, buat siapa saja, tujuannya apa, standarnya apa? eh…

Inilah wujud kerancuan sekaligus kebingungan bangunan pola pikir mas Ulil. Bicara konsep kebahagiaan tentu harus merujuk pada apa yang dimaksud oleh Dzat pembuat kebahagiaan itu sendiri. Dalam al-Qur’an dan hadits banyak bertebaran keterangan bahwa orang yang beriman dan beramal sholih (tentu iman dan amal sholih cara Islam) akan mendapatkan kebahagiaan. Mas Ulil pasti setuju dengan konsep ini, sekalipun harus terlebih dulu didekonstruksi maknanya.

Soal depresi sekarang. Menurut Aa justru yang akan depresi adalah individu atau kelompok yang mengumbar dan membebaskan akalnya tanpa bimbingan wahyu. Liar, beringas, nabrak sana nabrak sini, mencari-cari pembenaran, yang ini bias yang itu absurd, masuk ke gang-gang yang buntu.

Menuhankan akal sementara tidak paham bahwa kemampuan akal terbatas. Jadi ingat ke istilah humanisme. Humanisme Barat didefinisikan sebagai “bahwa manusia dengan akalnya tanpa campur tangan Tuhan akan mampu menyelesaikan setiap persoalan.” Apakah humanisme dalam makna ini yang dimaksud mas Ulil? Kalau betul, pantesan…

Akhirnya membabi buta, kalap, arogan, fundamentalis dalam keliberalannya, teroris dalam cara ‘dakwah’nya, konservatif dalam cara pandangnya, dan radikal (kemaruk) dalam pengamalannya.

Mas Ulil, sebelum bicara soal baik dan benar, harus disepakati konsep standar tentang itu. Jangan mengambang, membuat bingung yang akhirnya malah tidak rasional.

Mas Ulil, saya juga merasa tentram dan bahagia dengan pemahaman saya sebagaimana mas Ulil juga mengatakan merasakan hal yang sama dengan pemahaman mas Ulil. Maka dengan demikian mas Ulil sebagai yang meng-klaim paling toleran sudah sepatutnya menjadi terdepan sebagai ‘uswatun hasanah’ yang santun, sopan, lembut, toleran dan memberikan kebebasan terhadap pemahaman dan kelompok yang berbeda dengan mas Ulil. Jadi tidak bijak rasanya mas Ulil sebagai orang yang paling toleran, di akhir tulisannya harus dicederai dengan teror dan provokasi.

Al-Faqir ila ‘Afwi Robbih
Wildan Hasan
Kordinator Forum Kajian Muhammad Natsir
for World Civilization

  One Response to “Namanya juga Liberal”

  1. kok ga ada benarnya sedikitpun sih dimata penulis artikrl ini
    itu namanya “Geting keburu sengit”
    bencilah mas ulil sepanasnya saja boleh jadi mas ulil dikemudian hari menjadi orang yang ente sayangi
    hehehe

Sorry, the comment form is closed at this time.