Sejarah dan Catatan Nabi-Nabi Palsu

 Islami  Comments Off on Sejarah dan Catatan Nabi-Nabi Palsu
May 132011
 

DALAM akidah Islam, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) adalah penutup para nabi. Ini sesuai dengan firman-Nya: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al Ahzab [33]: 40). Sementara Islam, ajaran yang dibawa Muhammad SAW merupakan dien yang telah disempurnakan.

Namun, masih ada saja manusia yang mengaku sebagai nabi yang diutus Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) setelah Muhammad SAW untuk menyempurnakan ajaran-Nya. Bahkan, sebelum Muhammad SAW wafat pun sudah ada yang mengaku sebagai nabi. Jumlah mereka banyak. Berikut di antara para nabi palsu itu.

1. Musailamah al-Kazzab dan Sajjah Binti al-Harits

Musailamah mengaku nabi saat Rasulullah SAW masih hidup. Ia dari Bani Hanifah di Yamamah. Istrinya, Sajjah binti al-Harits dari Bani Tamim, juga mengaku sebagai nabi yang menerima wahyu dari Allah SWT untuk disampaikan kepada umat.

Dalam riwayat, saat mempersunting Sajjah, Musailamah memberikan mas kawin berupa cuti shalat Ashar kepada keluarga Sajjah. Tentu saja saat itu seluruh Bani Tamim libur shalat Ashar.

Setelah Rasulullah SAW wafat, mereka semakin leluasa dalam menyebarkan pemahamannya. Khalifah Abu Bakar Assidiq tidak tinggal diam. Abu Bakar beserta kaum Muslimin mengajak mereka dan pengikutnya kembali ke jalan yang lurus. Tapi, ajakan itu ditolak.

Abu Bakar mengerahkan kaum Muslimin untuk memerangi mereka. Dalam perang Yarmuk, Kaum Muslimin bentrok dengan pasukan Musailamah dan Musailamah berhasil dibunuh oleh Wahsyi bin Harb. Sedang Sajjah diakhir hayatnya bertaubat dan kembali ke pelukan Islam.
Continue reading »

Musa dan Tujuh Puluh Orang dari Kaumnya

 Islami  Comments Off on Musa dan Tujuh Puluh Orang dari Kaumnya
May 122011
 

“Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan tobat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan. Maka ketika mereka digoncang gempa bumi, Musa berkata: “Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah Yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya”.

“Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertobat) kepada Engkau. Allah berfirman: “Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami”. (QS. Al-A’raaf: 155-156)

**

Ada bermacam-macam riwayat mengenai sebab ditetapkannya waktu untuk bertemu Allah itu. Boleh jadi untuk menyatakan taubat dan memintakan ampunan bagi Bani Israil dari kekufuran dan dosa-dosa yang telah mereka lakukan.

Di dalam surah Al-Baqarah, diterangkan bahwa penebusan dosa yang diwajibkan atas Bani Israil itu adalah dengan membunuh diri mereka. Caranya, orang yang taat membunuh orang yang telah berbuat maksiat. Hal itu mereka lakukan sehingga Allah mengizinkan mereka untuk menghentikannya dan diterima-Nya kafarat mereka.

Ketujuh puluh orang ini adalah tokoh-tokoh dan orang-orang baik mereka, atau sebagai perwakilan mereka. Maka, redaksi kalimat, “Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan taubat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan,” menjadikan mereka sebagai pengganti (mewakili) Bani Israil secara keseluruhan.

Di samping itu, apakah yang pernah terjadi pada orang-orang pilihan ini? Mereka pernah ditimpa peristiwa dengan suara yang menggelegar (gempa atau petir) hingga pingsan. Pasalnya, mereka sebagaimana diceritakan dalam surah lain, meminta kepada Musa agar mereka dapat melihat Allah secara transparan. Dengan demikian, mereka dapat membenarkan Musa mengenai kewajiban-kewajiban yang dibawanya dalam alwah ‘kepingan-kepingan papan’.

Peristiwa ini menjadi saksi mengenai karakter Bani Israil yang meliputi orang baik-baik mereka dan orang-orang yang jahat. Tidak ada perbedaan di antara mereka dalam hal ini kecuali sedikit saja. Dan yang sangat mengherankan ialah mereka mengucapkan perkataan ini (minta dapat melihat Allah secara transparan) padahal mereka dalam suasana sedang menjalankan pertaubatan dan meminta ampun.

Musa a.s. menghadapkan diri kepada Tuhannya, merajuk kepada-Nya, meminta ampunan dan rahmat, menyatakan ketundukan dan mengakui kekuasaan Allah.

“…Maka ketika mereka digoncang gempa bumi, Musa berkata, ‘Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini….”

Ini adalah penyerahan mutlak kepada kekuasaan yang mutlak sebelum dan sesudah semua itu. Musa menyatakan hal ini sebelum menyampaikan permohonan kepada Tuhannya supaya meredakan kemurkaan-Nya dari kaumnya.

Permohonannya dimaksudkan agar menjauhkan mereka dari cobaan, dan tidak membinasakan mereka karena tindakan orang-orang yang kurang akal di antara mereka.

“…Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami….?”

Harapan ini dikemukakan dengan kalimat tanya, untuk mengintensitaskan permohonannya agar dijauhkan dari kebinasaan. Yakni, “Ya Tuhan, sesungguhnya jauh sekali rahmat-Mu hingga menyebabkan Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami.”

“…..Itu hanyalah cobaan dari-Mu. Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki……”

Musa a.s. menyatakan pengetahuannya terhadap sifat sesuatu yang terjadi itu. Ia mengerti bahwa itu adalah cobaan dan ujian belaka. Maka, Musa tidak pernah lupa kepada kehendak dan perbuatan Tuhannya sebagai halnya orang-orang yang lalai.

Inilah kondisi setiap cobaan. Yaitu, Allah memberi petunjuk dengannya kepada orang-orang yang mengerti tabiat peristiwa itu. Juga yang mengetahui bahwa itu adalah cobaan dan ujian dari Tuhan mereka yang harus mereka lalui dengan sehat dan penuh pengertian.

Allah sesatkan dengan cobaan itu orang-orang yang tidak mengerti hakikat ini. Juga yang melewatinya dengan begitu saja, dan keluar darinya dalam keadaan tersesat.

Musa a.s. menyampaikan prinsip sebagai pengantar untuk memohon pertolongan kepada Allah di dalam mengarungi ujian ini.

“….Engkaulah yang memimpin kami………”

Karena itu, berikanlah bantuan dan pertolongan-Mu kepada kami untuk menghadapi ujian-Mu ini serta mendapatkan ampunan dan rahmat-Mu.

“…Maka, ampunilah kami dan berilah kami rahmat, dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya….” (QS. Al-A’raaf: 155)

“….Tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat. Sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada-Mu…” (QS. Al-A’raaf: 156)

Kami kembali kepada-Mu, kami berlindung di bawah perlindungan-Mu, dan kami memohon pertolongan-Mu.

Demikianlah Musa a.s. mengajukan permohonan ampunan dan rahmat, dengan menyerahkan diri kepada Allah dan mengakui hikmah cobaan-Nya. Dia mengakhiri permohonannya dengan menyatakan kembali kepada Allah dan berlindung di bawah lindungan-Nya.

Maka, doa Musa ini merupakan contoh mengenai adab atau sopan santun seorang hamba yang saleh kepada Tuhan Yang Mahamulia. Juga merupakan contoh adab bagaimana memulai dan mengakhiri doa.

Kemudian datanglah jawaban kepada Musa.

“…Allah berfirman, ‘Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu….”

Suatu ketetapan tentang kehendak yang mutlak, yang membuat peraturan secara bebas dan memberlakukannya secara bebas, meskipun tidak memberlakukannya kecuali dengan adil dan benar. Itu pun dengan kehendak-Nya pula.

Karena, adil merupakan salah satu sifat Allah Yang Mahaluhur. Sifat itu tidak pernah berganti di dalam menjalankan semua kehendak-Nya, karena demikianlah yang dikehendaki-Nya. Maka, siksaan itu akan ditimpakan kepada orang yang menurut-Nya layak mendapatkan siksa. Dengan demikian, berlakulan kehendak-Nya.

Ada pun rahmat-Nya, maka ia meliputi segala sesuatu. Mengenai orang yang menurut-Nya layak mendapatkannya, maka berlaku pulalah kehendak-Nya. Tidak pernah dan tidak akan pernah kehendak Allah menimpakan azab atau memberikan rahmat secara kebetulan. Mahasuci dan Mahatinggi Allah setinggi-tingginya dari yang demikian itu.

Continue reading »

Hidup Zuhud Sang Gubernur

 Islami  Comments Off on Hidup Zuhud Sang Gubernur
May 112011
 

Khalifah Umar bin Khattab mengangkat Said bin Amir menjadi gubernur di Provinsi Himash. Ia pun datang menghadap khalifah bersama satu delegasi dari provinsi tersebut. Umar meminta mereka menuliskan daftar fakir miskin dari Himash yang berhak diberi bantuan dari kas negara. Umar heran karena di antara nama yang ditulis terdapat nama Said bin Amir. “Siapa Said bin Amir ini?” tanya Umar. “Gubernur kami,” jawab mereka. “Apakah gubernur kalian fakir?” selidik Umar. Mereka membenarkan, “Demi Allah, kami jadi saksi.” Umar menangis, kemudian memasukkan seribu dinar ke dalam sebuah kantong dan meminta mereka menyerahkannya kepada sang gubernur.

Menerima sekantong uang berisi seribu dinar, Said langsung membaca: Inna lillahi wa inna ilaihi raji\’un, seolah satu musibah besar menimpanya. Istri gubernur bertanya: “Apa yang terjadi? Apakah Amirul Mukminin wafat?” “Lebih besar dari itu,” jawab Said. “Telah datang dunia kepadaku untuk merusak akhiratku.” “Bebaskan dirimu dari malapetaka itu,” saran istrinya, tanpa mengetahui bahwa malapetaka itu adalah uang seribu dinar. Said bertanya: “Apakah kamu mau membantuku?” Istrinya mengangguk. Ia meminta istrinya untuk segera membagikan seribu dinar itu untuk fakir miskin, tanpa sisa untuk keluarganya.

Sekian lama berlalu, Umar mengunjungi Said bin Amir. Sudah menjadi kebiasaannya, jika berkunjung ke suatu provinsi, mengadakan dialog terbuka antara masyarakat, gubernur, dan dirinya sendiri. Dialog tersebut bertujuan untuk mengetahui langsung aspirasi masyarakat dan keluhan mereka terhadap pelayanan gubernur. Ada tiga keluhan masyarakat terhadap sang gubernur. Setiap keluhan disampaikan, Umar meminta Said menjawabnya.
Continue reading »

May 112011
 

“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda, “Siapa saja yang mengulur (memanjangkan) pakaiannya (celana, sarung atau jubah, red.) dengan kesombongan, maka Allah tidak akan memandangnya (dengan pandangan rahmat) pada hari Kiamat.” Abu Bakar rasiyallallahu ‘anhu berkata, “Ya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Sesungguhnya salah satu sisi dari kain sarungku turun (kadangkala melebihi mata kaki, red.), hanya saja aku berusaha menjaganya (supaya tidak turun melebihi mata kaki, red.). Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Engkau bukan termasuk orang yang melakukannya dengan kesombongan.’”

TAKHRIJ HADIST:

Hadits ini diriwayatkan oleh sejumlah Ulama ahli hadits, di antaranya:

1. Imam al-bukhari rahimahullah dalam Jami’us Shahih 10/254 no.5784

2. Imam Abu Dawud rahimahullah dalam sunan Abi Dawud 4/56-57 no. 4085

3. Imam an-Nasa’i rahimahullah dalam al-Mujtabaa 8/206

4. Imam al-Humaidi rahimahullah dalam Musnad 2/288 no.649

5. Imam Ibnu Hibban rahimahullah dalam Shahihnya dan lain-lain.

PEMAHAMAN YANG BENAR TERHADAP HADITS:

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Siapa saja yang mengulurkan” pada asalnya mencakup laki-laki dan perempuan dalam masalah ancaman hukuman yang disebutkan dalam hadits tersebut. Hal itu sebagaimana yang telah difahami oleh Umu Salamah (istri Nabi) radiyallahu ‘anha, dalam hadits Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhuma.

Lalu apa yang harus diperbuat oleh wanita dengan ujung pakaiannya (bagian bawahnya)? Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “hendaklah mereka menurunkannya satu jengkal.” Umu Salamah radiyallahu ‘anha berkata, Jadi terbuka (terlihat) kakinya?” Beliau berkata, “Julurkanlah satu depa, dan jangan lebih dari itu.”

Para Ulama telah ijma’ (sepakat) tentang bolehnya isbal bagi wanita, sebagaimana telah disebutkan. Jadi kesimpulannya bahwa ancaman ini berlaku hanya bagi laki-laki saja.

Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, “Allah tidak memandangnya” maknanya adalah memandang secara hakikat (benar-benar memandang), sebagaimana yang difahami oleh madzhab salaf (ulama terdahulu).

Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya salah satu sisi dari kain sarungku turun (kadangkala melebihi mata kaki, red)”, maksudnya salah satu bagian/sisi dari sarungnya turun, hal itu dikarenakan tubuh Abu Bakar radiyallahu ‘anhu yang kurus.

Sabda shallallahu ‘alaihi wasallam beliau, “Sesungguhnya kain sarungku kadang-kadang turun” riwayat ini menunjukkan bahwa beliau tidak memakai sarung seperti ini (turun melewati mata kaki), akan tetapi sarungnya itu yang turun dengan sendirinya. Oleh sebab itu Abu Bakar radiyallahu ‘anhu berkata, “Hanya saja aku berusaha menjaga hal itu darinya,”maksudnya menjaga agar tidak turun melewati mata kaki, ketika aku lalai.”

Abu Thayyib rahimahullah mengatakan tentang makna perkataan Abu Bakar radiyallahu ‘anhu, bahwasanya salah satu sisi dari sarung beliau turun apabila beliau bergerak untuk berjalan dan selainnya tanpa disengaja. Apabila beliau adalah orang yang menjaga pakaiannya (supaya tidak turun), maka pakaian beliau tidak pernah turun pada hakekatnya, karena setiap kali hampir turun (menjulur melebihi mata kaki) beliau menariknya keatas.”

Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, “Engkau bukan termasuk orang yang melakukannya dengan kesombongan.” Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dalam riwayat Zaid bin Arqam radiyallahu ‘anhu ‘Engkau bukan bagian dari mereka’ di dalamnya ada penjelasan bahwa barang siapa yang sarungnya (atau celananya) menjulur kebawah (melebihi mata kaki) tanpa disengaja tidak mengapa secara mutlak.”

Dan adapun Isbal (memanjangkan celana/ sarung melebihi mata kaki) tanpa disertai kesombongan adalah haram, ditinjau dari beberapa segi:

1. Sisi yang pertama, Ancaman Neraka bagi orang yang menjulurkan pakaiannya melebihi mata kaki (Isbal), walaupun tidak disertai sikap sombong. Sebagaimana hadits-hadits berikut ini

Continue reading »

Penyimpangan Akidah, Sebab dan Solusinya

 Islami  Comments Off on Penyimpangan Akidah, Sebab dan Solusinya
May 112011
 

Semua orang yang berakal sehat tentu sepakat kalau penyimpangan terhadap hal apapun adalah sesuatu yang negatif dan tidak dapat dibenarkan. Apalagi kalau penyimpangan tersebut terjadi terhadap hal-hal yang prinsip seperti penyimpangan terhadap akidah (baca: akidah Islam yang benar, pen.)

Di negri kita penyimpangan akidah bukanlah persoalan dan kasus baru yang kita jumpai. Bahkan ia telah ada sejak negri ini merebut kemerdekaannya dan terbebas dari belenggu penjajahan. Seperti masuknya faham dan ajaran (komunis atheis) yang disisipkan oleh partai yang saat itu legal bahkan sempat memiliki masa yang cukup diperhitungkan (baca: PKI, pen.). Tapi tampaknya penyimpangan terhadap akidah akan terus berlangsung sampai kapan pun dalam negri kita, bahkan ia akan menjadi persoalan atau kasus yang akhirnya dianggap biasa dan sah-sah saja, hingga tidak peduli jika mereka atau keluarga mereka sendiri telah masuk dan terjerumus ke dalam lembah kesesatan tersebut. Dan belakangan ini kita saksikan banyak sekali bermunculan aliran-aliran sesat dan menyesatkan yang sangat meresahkan umat dan menodai ajaran Islam serta merusak akidah yang benar, seperti kasus nabi palsu; Lia Eden, al-Qiyadah al-Islamiyah, dan baru-baru ini kasus lama yang muncul kembali yakni kasus kelompok dan ajaran sesat Ahmadiyah yang menimbulkan pro-kontra di antara umat Islam bahkan sampai menyebabkan terjadinya insiden Monas yang sangat miris dan sangat disayangkan karena faktanya pertikaian yang terjadi adalah antara umat Islam itu sendiri. Padahal faham dan ajaran yang dianut oleh kelompok ini jelas-jelas telah menodai ajaran Islam dan menyimpang dari akidah Islam yang benar, tapi anehnya masih saja ada sebagian umat Islam dan tokoh-tokoh Islam yang turut membela dan memperjuangkannya. -Allah yahdihim- dan ironisnya ternyata sebagian umat Islam/ ormas Islam yang mendukung aksi penolakan dibubarkannya Ahmadiyah disinyalir mendapat sokongan dana dari agen yahudi (yang membawa misi zionisme).

Perlu kita ketahui bahwa penyimpangan terhadap akidah dalam Islam merupakan persoalan yang sangat besar dan tidak dapat dianggap sepele karena dapat menyebabkan para pelakunya dan orang-orang yang mendukung berlangsungnya penyimpangan terhadapnya keluar dari agama Islam itu sendiri (baca: murtad, pen.).

Akidah (baca: Akidah yang shahih, pen.) dalam Islam merupakan perkara yang sangat menentukan kehidupan dan kebahagian seseorang di dunia dan terlebih di akhirat kelak. Karena Akidah yang shahih merupakan landasan/ asas agama Islam dan menjadi syarat mutlak sah dan diterimanya amal yang dilakukan oleh seorang muslim. Dan manusia tanpa akidah yang benar akan selalu dihantui dan menjadi mangsa keragu-raguan yang akan menutup pandangannya untuk menggapai kebahagian hidup yang hakiki dan sebaliknya dia akan menjalani kehidupan yang sempit lagi menyiksa meskipun ia hidup bergelimangan harta dan memiliki fasilitas-fasilitas hidup yang serba mewah.

Hal ini menunjukkan betapa penting dan wajibnya bagi setiap muslim untuk mengetahui dan mempelajari hal-hal tentang akidah yang shahih. Dan juga tak kalah pentingnya bagi mereka perlunya mengetahui sebab-sebab yang menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam penyimpangan akidah yang benar tersebut dan bagaimana cara menanggulanginya.
Continue reading »