Berikut adalah sebuah tulisan dari seorang kawan, Muhammad Aziz Nurhidayat, terkait sebuah komen : http://www.inilahjalanku.com/islam-dan-ilmu-pengetahuan/comment-page-1/#comment-791
semoga bisa menjadi sebuah jawaban yang cukup memberikan penjelasan. 😀
==================================================
Bismihi Ta`ala. Imam Ali Zainal Abidin pernah menyebutkan, “satu alasan lain kenapa al-Ikhlash di turunkan adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di masa depan tentang Tuhan, dari sebagian kamu yang meraguinya.” al-Ikhlash ini pula yang menjadikan rekam jejak bagi seorang Rendra, salah seorang penyair kita, almarhum yang bergelar si burung merak itu, tersedu, ia menggugu dengan sebutnya, “aku tahu, aku tahu Nun,” katanya pada Cak Nun, salah seorang budayawan kita, “pengeran iku nyawiji.” Rendra dengan apik memaknai kata ahad, dalam Qul huwallahu ahad dengan sebutan nyawiji.
Nyawiji adalah sebutan yang sangat matang, konon Rendra terlahir dari seorang kristiani, dan dia tergugah dengan sebutan, bahwa Tuhan itu nyawiji. Ahad. Esa. bukan satu dalam nomor dan urutan, namun satu dalam diri-Nya sendiri, dan hanya diri-Nya. Nyawiji. satu-satu-Nya yang satu. alangkah indahnya tentu pertemuan antara Rendra dan CN itu, apalagi kita pun tahu bahwa Rendra mengakhiri karir hidupnya sebagai seorang muslim, meski pada awalnya ia bukan.
dalam nyawiji-nya inilah Dia disebut tak terbatas, tak mengalami batasan apapun, Dia menjadi Wujud yang tak memiliki lawan dan kawan, karena keduanya adalah bentuk batasan untuk-Nya. lam yalid wa lam yulad wa lam yakun lahu kufwan ahad. satu pun tak ada yang membersamai-Nya, karena bagaimana mungkin akan memgadakan kebersamaan dengan-Nya dalam Maqamah Tuhan, bahwa Tuhan adalah satu hal yang menjadi sumber segalanya.
adanya referensi yang kaya dalam Islam tentang Tuhan bukan menjadi arti bahwa Tuhan adalah hasil daya cipta pikir dari seorang muslim, namun karena seorang muslim sadar benar betapa keberadaan Tuhan dengan diri-Nya sendiri itu memberikan arti yang mendalam terhadap kehidupan pribadi seorang muslim. dimanapun ia, seorang muslim, maka ia mesti terus menjadikan dirinya hamba bagi Tuhan, dan satu-satunya jalan untuk itu adalah diawali dengan ingatannya pada-Nya, dan tak mungkin kita mampu mengingat-Nya tanpa kita tahu dan mengerti siapa Dia. hal ini juga selaras dan setimbang seperti halnya yang pernah ditandaskan dari Sayyid Imam Ali Khemene`i (semoga Allah senantiasa menjaga beliau dan panji Revolusi Islam Iran), seorang pemimpin tertinggi Revolusi Islam Iran saat ini, “sedetik saja kita melepaskan diri dari mengingat Tuhan, maka lantak tak tertolong lagi panji Revolusi Islam ini.”
tentu Tuhan mempunyai kebebasan mutlak, seperti halnya diri-Nya yang mutlak (usaha jawab point kedua), dan akan tetapi kebebasan Tuhan ini juga penuh berada pada kebebasan Tuhan untuk adil, maka keadilan Tuhan menjadi mutlak juga bagi Tuhan. hal ini seperti menyebut, bahwa kebebasan mutlak tanpa rasa adil adalah sebuah hinaan, dan pastilah Tuhan terbebas dari hinaan terhadap diri-Nya, seperti juga dengan kebebasan mutlak bagi manusia tanpa batas adalah sebuah kutukan, maka karena itu manusia yang sadar akan hal ini akan menjadikan hidupnya bersandar -pada kebebasannya- untuk memilih jalan Tuhan, jalan yang membebaskan. dalam referensi Islam yang kaya tidak pernah sekalipun saya mendapatkan tentang Tuhan yang dibatasi oleh pemikiran manusia tentang-Nya, dan bila hal ini ditemukan maka dasar ini pasti menyalahi semangat dan hukum-hukum Islam yang bersandar pada ansh al-Qur`an dan Hadist, seperti sebut Qur`an; Innallah `ala kully syaiin qadir. bahwa sesungguhnya Tuhan atas segala sesuatu Dia Maha Kuasa. sebuah alasan dan hujjah yang sudah sangat jelas.
dengan itulah, memang bahwa daya kemampuan-Nya sangat tak terbatas, namun kalau alasan ini menjadi pembenaran untuk menyebutkan Tuhan berkawan dan berlawan, maka hal ini akan menjadi rancu dalam pemikiran kita. (usaha jawab point ketiga) suatu yang tak terbatas, kenapa pula musti membatasi diri dengan keberadaan yang lain? hal ini menjadi tidak boleh terjadi, laysa kamistlihi syay-un menjadi jawaban lain dari al-Qur`an. “Dia tidak seperti apapun.” Imam Ja`far as-Shodiq menambahkan, “hatta dengan bayangan atau persepsi kita tentang-Nya, maka itu bukan Dia.” kenapa, karena bayangan dan persepsi itu menjadi batas kita pada-Nya, padaha Tuhan, dengan diri-Nya sendiri tak terbatas. InsyaAllah inilah usaha jawab ini, dengan penekanan bahwa filsafat ketuhanan Islam yang berangkat dari Nash dan pemahaman yang benar tak pernah sekalipun membawa kerancuan dan kebimbangan. tentang Tuhan seperti sinar metari yang terang benderang, hatta awan pun tak akan mampu menghalangi jejak terangnya, entah dengan mata yang sakit karena melihat sinar yang terang. karena memang begitu, mata yang terlampau sering berada dalam kegelapan akan merasakan rasa sakit terhadap sinar terang kebenaran yang menyinari setiap jalan hidup dan cinta dalam agama ini, dari Allah, disampaikan oleh para Nabi, dan dijaga oleh para Imam suci. Allahu a`lam bissshowab, semoga bisa menjawab, bila banyak kekurangan, itu hanya karena kapasitas diriku yang hina dan terbatas ini, mohon maafnya atas hal itu.
Oleh : Muhammad Aziz Nurhidayat
=======================================================
Sorry, the comment form is closed at this time.